Senin, 06 Mei 2013

Haru, sepeninggalnya guru


Tepat pukul 07.30 WIB, pagi-pagi semua santri kaget dengan suara yang keluar dari speaker masjid Al-Munawwir. Masjid yang biasanya hanya terdengar suara laki-laki, kali ini justru terdengar suara seorang perempuan yang amat nyaring. Semula perhatian santri asyik dengan kesibukan di pagi hari. Seperti biasa, antri mandi, makan, tidur-tiduran dan mutholaah (kitab kuning). Namun di saat para santri memperhatikan suara yang keluar “Diberitahukan kepada semua ahlin Al-Munawwir,” kalimat pertama yang keluar dari sound masjid. Suara perempuan tersebut adalah suara dari istri Kiyai sepuh Al-munawwir yaitu Bu Nyai Ida.
“Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun,” lanjutan dari kalimat pertama, Serentak kegagetan santri bertambah, setelah didengarkan dengan seksama ternyata Bu Nyai menginformasikan bahwa Si Mbah Ahmad Warshun Munawwir meninggal dunia, adik dari suami beliau Mbah Zainal (kiyai sepuh Al-Munawwir). seketika semua santri bergegas pergi menuju komplek Q, tempat di mana kiyahi Warshun berada. Aktifitas para santri pun jadi berantakan, yang semula asyik-asyikan makan kini mereka harus segera menghabiskan makanannya, dan kegiatan untuk mutholaah kini harus ditutup, semua santri antri di kamar mandi. Semua santri tidak ingin melewatkan melihat Mbah Warsun Munawwir untuk terakhir kalinya, komplek Q adalah komplek yang mayoritasnya dihuni santri perempuan.
 Hari itu adalah tepat hari Kamis tanggal 18 April 2013. Entah ini merupakan peristwa menyedihkan sepanjang hayat, setelah ketidakberadaan seorang Kiyai yang sekarang telah pergi ke Rahmatullah. jenazah Mbah Warshun pun segera dimandikan. Tetesan biulir-bulir air mata tak mampu dibendung. Langit pun memperlihatkan mendungnya. Sebagai saksi di mana duka cita merasuk dalam hati para jenazah. dengan aliran air yang perlahan sang langit hendak menunjukkan betapa sedihnya ia di tinggal ulama’ pembuat kamus Al-Munawwir tersebut. Setiap santri yang hadir terlihat begitu sedih, meski demikian para santri tetap tegar dan berusaha bersikap lapang dada serta mengikhlaskan kepergian guru mereka. Dengan penuh kepedihan ada sebagian santri yang mengabadikan momen bersejarah tersebut dengan (menyimpan foto, kamus atau dan lain lain). Ada juga yang masih sempat online guna menginformasikan pada seluruh murid dari Mbah Warshun yang berada di Tanah Air. Tak perlu waktu yang lama santri-santri beliau yang sudah menjadi alumni satu persatu berdatangan ke kediaman beliau. Suasana ramai dan haru tak bisa terelakkan, seketika jalan Krapyak dipenuhi dengan mobil dan motor. Santripun dengan sigapnya menghandle untuk mengatur lalu lintas yang ada dan mengatur parkir guna memudahkan mereka yang mau bertakziah.
Ribuan orang berdatangan ke komplek Q, mulai dari pejabat hingga rakyat. Alim-ulama’pun tidak ketinggalan (mulai dari tingkatan pejabat, para ulama, juga masyarakat yang ada dipelosok tanah air), Habib Husen teman Mbah kiyahipun hadir bahkan Gus Mus yang asli Jatim datang (tidak ketinggalan), ada juga ulama’-ulama’ yang lain dan kebetulan adalah alumni dari Al-Munawwir. Gus Mus datang memilih menggunakan motor sebab tidak mau terjebak macet sehingga dapat melihat jenazah sang guru meski sebentar.
Jenazah dimakamkan dekat dengan ayah handanya (ayahandanya) yaitu KH. Munawwir, seorang ulama’ yang menjadi acuan hampir semua orang yang hafal Al-Qur’an di Tanah Air. Pemakaman dilakukan setelah sholat Asyar (ashar)  berjamaah di Masjid Al-Munawwir Krapyak Bantul Yogyakarta. Pengiringan jenazah hingga ke Pemakaman dipenuhi dengan umat islam (selaku warga umat islam yang ada di tempat pemakaman, ikut mengiringi kepergian jenazah). di sepanjang perjalanan menuju pemakaman terpaksa ditutup oleh pihak kepolisian mengingat begitu banyaknya umat yang mengantarkan beliau ke Pemakaman. Jarak Makam dengan Komplek Q cukup jauh kira-kira ada 5 KM, melewati beberapa jalan besar diantaranya Jalan Bantul dan Ringroat Selatan.
Para pengiring jenazah tak lelahnya mengeluarkan kalimat-kalimat syahadat, disertai dengan tetesan air mata beserta keringat akibat desak-desakan. Seusai jenazah dimakamkan seketika langit mengucurkan airnya dengan deras, sebelumnya hanya rintikan kecil yang keluar dari langit kali ini kucurannya benar-benar mengharuskan pengiring jenazah untuk berteduh. Meski demikian ada sebagian yang nekat melanjutkan perjalanan pulang sebab sudah kepalang basah sedari tadi. (seusai jenazah dimakamkan, terlihat awan yang tadinya cerah tiba-tiba berubah menjadi kian mendung. Rintikan hujan mulai membasahi tanah. Para petakziah memilih untuk berteduh guna menghindari kucuran hujan yang begitu deras, dan sebagian lagi petakziah ada yang memilih  bertekad untuk melanjutkan perjalanan pulang karena tubuhnya sudah terlanjur  sedari tadi basah kuyup.
Sesampainya di pondok, para santri masih terlihat lesu dan nampak raut kesedihan yang keluar dari wajah mereka (terlihat dari wajah para santri yang tampak lesu, juga kesedihan yang sepenuhnya belum hilang). Dan sebentar lagi adalah hari dimana para santriwati khataman Al-qur’an yang pelaksanaannya dibarengkan dengan peringatan haul KH. Muhammad Munawwir yang ke 74. Tiga hari setelah ditinggal pergi oleh Sang Guru mereka harus tampil di Panggung dengan sebaik mungkin,
Begitu malam datang, keharuan pondok semakin nampak. Komplek Huffadz yang biasanya ada acara mauludan kini acara tersebut ditiadakan, digantikan dengan tahlilan bersama untuk beliau Mbah Kiyai Warshun. Meski sejak pagi tadi mereka sudah mendoakan hingga sore tetap saja acara tersebut dihadiri oleh seluruh santri yang ada di komplek tersebut.
Malam berikutnya adalah malam dimana ada acara burdahan yang sudah diagendakan oleh Al-Munawwir sebelumnya. Acara tersebut tidak begitu ramai oleh pengunjung bahkan santri-santri sendiri banyak yang tidak mengikuti acara tersebut. Disamping masih dalam suasana haru kebetulan malam itu merupakan malam yang amat dingin.
Malam berikutnya berbeda dengan malam burdahan tadi. Kali ini adalah malam dimana sima’an Al-Qur’an yang semula hanya diagendakan untuk KH. Munawwir kali ini juga diperuntukan bagi Mbah Warshun. Orang yang mengikutipun banyak sekali, hampir 200 khataman yang berhasil dilaksanakan (dilakukan) dalam beberapa majelis yang ada.
Penutupan atau pembacaan do’a sima’an Qur’an (Al- Qur’an) dilakukan di Makam, tempat Mbah Munawwir dan Mbah Warshun disemayamkan. Udara yang sedari tadi terasa panas, kali ini menjadi semakin sejuk beriringan dengan semakin surupnya (tenggelamnya) matahari. Awan di atas para peziarah tak habis-habisnya menutupi matahari sore sedari awal pembukaan do’a. Nampak awan putih yang berbeda ketinggian saling bergantian menghalangi sinar matahari yang menuju arah peziarah. Semakin khusuk (khusyuk) peziarah dengan do’a khotmil qur’an membuat suasana semakin tenang tanpa suara kecuali suara kiyai yang membaca do’a.
Matahari semakin enggan nampak (menutupkan dirinya), pertanda akan dimulainya mega merah yang bermunculan (keluar). Azhan (adzan) magrib yang dikumandangkan membuat santri-santri semakin sibuk dengan tugas-tugas yang telah diberikan. Seusai sholat berjamaah, ada kerumunan wanita-wanita berseragam pink yang menarik perhatian, mereka bersiap untuk menaiki panggung yang berada di sebelah masjid. Suara MC yang amat nyaring semakin menarik perhatian, hadirin yang masih berada di jalan utama bergegas menuju tempat yang disediakan oleh panitia, satu persatu nama wanita yang berseragam pink disebutkan sementara itu para santri yang tidak kebagian tugas semakin asyik memandangi mereka. Hanya santri yang menjadi calon khotimin lah yang tidak mendapat tugas sebagai panitia. Khotimin putra sebenarnya akan melaksanakan pula apa yang khotimat lakukan saat ini tetapi masih menunggu beberapa bulan bertepatan dengan haul Mbah Abd Qodhir (putra dari Mbah Munawwir), termasuk salah satu ulama’ qur’an penerus dari ayahandanya.
Sehabis jama’ah isya’ berlangsunglah prosesi khataman yang telah ditunggu-tunggu. Nampak para wali santriwati memenuhi kursi, pandangan mereka lurus ke depan panggung yang berisikan anak-anak mereka. Hal yang menarik perhatian pun terjadi di sana, ada salah satu khotimat yang pingsan entah apa penyebabnya, dengan seketika teman-teman yang ada disebelahnya memeganginya dan membawanya ke ruangan.  Hati seorang santriwati yang masih teringat dengan seorang gurunya ternyata mempengarui penampilan. Ada khotimat yang kalang kabut hingga kehilangan nada awal, untung masih bisa ditutupi oleh khotimat yang lain sehingga pembacaan surat masih bisa berlangsung hingga selesai.

Tidak ada komentar: