Selasa, 07 Mei 2013

Kebutuhan Manusia Akan Agama


Rounded Rectangle: M. Baihaqi 11210153                                 Kebutuhan Manusia Akan Agama

Kutipan pertama

          “Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang, wahai manusia ,bertaqwalah kepada tuhanmu yang telah menciptakanmu dari satu jiwa. Dari padanya ia menciptakan istrinya, dari pada keduanya ia mengembang biakkan banyak laki – laki dan perempuan (an Nisa’ 1)
Dalam satu ayat yang mengagumkan ini, terdapat empat prinsip sistematis, yang membatasi aspek yang permanen dari kehidupan manusia!
          “Bertaqwalah kepadatuhanmu yang telah menciptakanmu”
          “Dari satu jiwa”
          “Dari padanya Ia menciptakan istrinya”
          “Dari padanya Ia mengembang biakkan banyak laki – laki dan perempuan”
Sungguh merupakan mukjizat tersendiri apabila satu atau empat prinsip dengan susunan yang mudah dan luas, berkumpul sedemikian rupa di dalam satu ayat yang jumlah katanya terbata sini! Yakni satu ayat yang amat ringkas menceritakan semua sejarah manusia .didalam Al-Qur’an juga terdapat banyak ayat lain, yang mengupas secara detail aspek - aspek yang ada kaitannya dengan prinsip ini, sehingga menambah kejelasan. Sebagian dari sekian ayat ini, akan saya paparkan di tengah-tenngah pembahasan secara rinci keempat prinsip sistematis di atas. Akan tetapi disini saya hendak menonjolkan berkumpulnya empat prinsip ini dalam satu ayat di atas dimana kesederhanaannya membatasi realitas-realitas manusia yang bersifat fundamental dalam beberapa kata yang dapat dihitung.
Prinsip ketuhanan, prinsip kesatuan manusia, prinsip kesatuan dua jenis kelamin, dan prinsip masyarakat manuisa adalah empat prinsip sistematis yang membatasi kerangka acuan dimana manusia hidup.”[1]


Kutipan kedua

Taubat Raja Basrah
“Al-mubarok bin Ali mengabarkan kepada  kami, Hibatullah bin Ahmad mengabarkan kepada kami, Abu Thalib al-Usyari mengabarkan kepada kami, Hasan bin Shafwan mengabarkan kepada kami, ia berkata : Ibnu Abi Dunya mengabarkan kepada kami, ia berkata : Muhammad bin Husain bercerita kepadaku, ia berkata : Sulaiman bin Ayyub bercerita padaku, ia berkata : Aku mendengar Abbad al-Muhallabi berkata:
Pada awalnya raja basrah tekun beribadah, namun akhirnya ia lebih cenderung kepada dunia dan kekuasaan. Ia membangun sebuah istana dan memperkokoh
Ia menghidangkan makanan dan mengundang rakyatnya, merekapun hadir untuk menikmati hidangan makanan, minuman dan menyaksikan kemewahan istana tersebut dengan penuh kagum dan simpati. Setelah acara selesai merekapun meninggalkan tempat tersebut dan mendoakannya. Hal itu terus berlanjut hingga beberapa hari sampai semuanya selesai.
Suatuhari, raja duduk bersama beberapa anak buahnya seraya berkata: “Kalian telah melihat bagaimana kebahagiananku dengan bangunan ini. Hati kecilku mengatakan agar aku membuat kan bangunan semacam ini untuk setiap anakku. Karena itu bersenang – senaglah bersamaku selama beberapa hari untuk berbincang – bincang dan bermusyawarah mengenai apa yang aku inginkan dalam membangun rumah untuk anakku.”
Mereka bersenang – senang dan berfoya – foya untuk membahas tentang bangunan rumah untuk anak - anak sang raja. Ketika itu mereka mendengar seseorang berkata dari ketinggian bangunan itu:
          Wahai orang yang membangun dan manusia yang lalai akan kematian, jannganlah kalian berpanjangangan – angan karena kematian itu telah tertulis. Bagi setiap makhluk meskipun mereka hidup senang dan damai, sebab kematian akan tetap menimpa orang yang berharta. Jangan engkau membuat sebuah bangunan yang dapat engkau tempati, kembalilah engkau untuk tekun beribadah agar dosamu terampuni.
Mendengar suara itu, sang raja dan anak buahnya tertegun hingga rasa takut menyelimuti mereka. Ia berkata kepada anak buahnya: “Apakah kalian mendengar apa yang aku dengar?”
Mereka menjawab: “Ya, kami mendengarnya.”
Raja bertanya lagi: “Apakah kalian mendapaati apa yang aku dapati?”
Mereka balik bertanya: “Apa yang paduka dapati/”
Raja menjawab: “Demi Alllah, aku dapatkan kesejukan di hatiku dan kudapatkan seakan – akan kematian akan menjemputku.”
Mereka berkata: “sekali - kali jangan begitu paduka, mudah – mudahan paduka sehat wal afiat.”
Sang raja semakin menangis dan menghadap kearah mereka sambil berkata: “kalian semua adalah teman dan saudaraku, apakah yang aku kehendaki dari kalian?”
Sang raja memerintahkan mereka agar semua minuman dibuang dan seluruh tempat judi dibubarkan. Lalu ia berkata: “Ya Allah, sesungguhnya aku bersaksi padaMu bahwa aku telah bertaubat padaMu atas segala dosaku dan menyesali yang kuperbuat dihari kesenanganku. Hanya kepadaMU aku memohon agar diberi kemampuan untuk kembali kejalanMu.”
Kemudian sang raja sakit keras, dan ia terus terucap: “Kematian, demi Allah! Kematian, demi Allah.” Akhirnya sang raja menghembuskan nafas yang terakhir.”[2]


Kutipan ketiga

“Sebagai makhluk Allah manusia telah diberi seperangkat alat untuk bisa hidup di dunia. Mulai dari rambut,mata, ... dari hal sekecil apapun yang melekat pada diri manusia pasti ada gunanya.
Lebih dari itu, manusia lebih dilengkapi dengan karakter dan sifat.Baik positif, seperti lemah lembut, baik hati, penuh kasih sayang dan cinta, maupun yang negatif, misalnya kasar, kejam, bengis, ... kedua sifat itu sangat dipengaruhi oleh keturunan, keluarga, dan lingkungan yang membentuknya.
Sifat rakus atau tamak pasti dimiliki oleh setiap orang.Hanya saja masing - masing orang berlainan pertunbuhannya. Ada yang bertambah subur karena dia hidup dalam lingkungan keluarga yang materialistis, bermoral rendah, dan seterusnya.
Orang yang rakus, selalu dihinggapi rasa tidak puas diri. Angan – angannya jauh lebih besar ...
Orang rakus yang dibenarkan oleh agama hanya ada dua. Pertama, rakus pada ilmu pengetahuan, dan kedua, rakus harta namun pandai – pandai membelanjakan di jalan Allah SWT”.[3]




Kutipan keempat

Kedudukan Anak Menurut Pandangan Islam

“Apabila “AN-nasl” atau keturunan termasuk masalah dlaruriyat, maka dengan sendirinya persoalan –  persoalan yang berkaitan dengan anak menjadi sangat penting dan bersifat dlaruri juga. Dalam islam memandang anak dalam 3 dimensi (ukuran) yakni
·         Dimensi sosial ; … Dalam hubungan ini ajaran agama islam mengatur kewajiban orang tua terhadap anak … Semua itu dalam konteks upaya mewujudkan keturunan yang berkualitas sebagai dzurriyatan thayyibah.
·         Dimensi ekonomi ; Dalam Al-Qur’an dianjurkan kita memiliki keprihatinan terhadap keturuna kita, jangan sampai mereka menjadi generasi yang lemah secara ekonomi …
·         Dimensi religi ; Keturunan dapat menjadi salah satu asset amal jariyah, apabila anak tersebut menjadi anak yang saleh …[4]



Kutipan kelima

Pendekatan Islam Terhadap Etos Kerja Bangsa Indonesia

Kedua : Untuk menjawab kebanyakan mitos atau asumsi orang luar, yang menganggap bahwa islam / tepatnya umat islam sebagai sebuah struktur dan pandangan yang statis, monolitik atas kehidupan yang tradisinya memiliki sedikit makna dan relevansi bagi dunia modern sekarang. Padahal menurut J. Thomas cummings Islam membawa dirinya kepada banyak aspek pembangunan ekonomi. Bahwa prinsip – prinsip ekonomi islam tidak perlu menghambat laju pembangunan islam, sebaliknya, prinsip – prinsip islam mengemukakan factor – factor yang umumnya dianggap sebagai esensial untuk pembanguann ekonomi, seperti pemilikan pribadi, perangsang laba, kerja keras dan upah abadi bagi keberhasilan ekonomi.[5]


Tanggapan pengutip
Kutipan pertama, menggambarkan betapa sempurnanya sebuah ayat yang ada dalam AL-Qur’an, sehingga tidaklah salah bila seseorang amat memerlukan penjelasan – penjelasan dari kitab tersebut dan mau tidak mau harus berkecimpung dalam sebuah klaim agama. Secara simpelnya agar dapat memercayai akan kebenaran isi kitabullah maka seseorang haruslah beragama (beriman) terlabih dahulu.
Kutipan kedua, berupa sebuah cerita dimana agama berperan sebagai penenang dan penyejuk hati sehingga dapat mengendalikan nafsu manusia yang selalu ingin berfoya – foya. Intinya agama berperan sebagai pengikat atau pengendali nafsu, dimana nafsu apabila tidak ada yang mengendalikan akan senakin liar dan buas.
Kutipan ketiga, pada kutipan ini agama (islam) sebagai pengingat bahwa manusia adalah sebuah karya (ciptaan), untuk itu sudah sepantasnya bagi setiap yang diciptakan berterima kasih pada penciptanya. Dalam hal ini manusia disuruh untuk bersyukur kepadaNYA dan menyadari bahwa setiap yang telah diciptakan olehNYA pasti ada manfaat dan gunanya jadi seorang manusia harus bias memanfaatkannya sebaik mungkin (hal yang positif).
Kutipan keempat, agama (islam) berperan dalam hal ketarbiyahan (mendidik). Disini agama menginformasikan hal – hal yang perlu diperhatikan mengenai seorang buah hati kita, dimana pada setiap dimensi seorang wali harus bisa menempatkan dirinya sesuai dengan posisi. Jadi secara tidak langsung agama m,enberi arahan bagaimana seharusnya mendidik anak yang benar, oleh karena itu hanya orang – orang beragama saja yang mestinya bisa mendidik anak dengan benar.
Kutipan kelima, agama (islam) memang sebagai rahmatal lil alamin. Buktinya bila praktek ajaran – ajaran dijalankan akan menimbulkan hal yang amat luar biasa seperti yang terpapar diatas, hal yang tidak masuk akal ternyata malah menimbulkan efek yang amat hebat bagi kehidupan. Untuk itu salahlah anggapan para ateis yang menganggap agama tidak ada gunanya, hidup tanpa agamapun bisa, memeng bias tapi kurang sempurna dan pastinya akan kacau balau.


Daftar Referensi
Fatah, KH.Munawir Abdul, PantulanCahayaRasuljilid I Yogyakarta : PustakaPesantren, 2005
Hasan, Muhammad Tholhah, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia Jakarta : Tanjung Mas Raya, 2003
Maqdisi, IbnuQudamah Al, 132 KisahTaubat, mitrapustaka: 2003
Qutub, Muhammad, Evolusi Moral, Surabaya: 1995



[1] Muhammad Qutub, Evolusi Moral, (Surabaya:1995) hlm. 204-205
[2]IbnuQudamah Al-Maqdisi, 132 KisahTaubat, (mitrapustaka :2003) hlm. 317-320
[3]KH.Munawir Abdul Fatah PantulanCahayaRasuljilid I (Yogyakarta :PustakaPesantren, 2005) hlm. 7-9
[4] Muhammad Tholhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia (Jakarta : Tanjung Mas Raya, 2003) hlm. 5-7
[5] Ibid hlm. 234-235

Tidak ada komentar: