Rabu, 08 Mei 2013

Model Dakwah Berbasis Budaya (Model Dakwah Sunan Kalijaga Sebagai Perwujudan Model Dakwah Berbasis Budaya)


Model Dakwah Berbasis Budaya
(Model Dakwah Sunan Kalijaga Sebagai Perwujudan Model Dakwah Berbasis Budaya)

BAB I
I.              Pendahuluan
Dakwah adalah sebuah proses penyebaran agama islam kepada khalayak ramai. Tentunya selayaknya sebuah proses juga membutuhkan metode ataupun cara – cara yang jitu untuk dapat tersebar, adapun metode yang paling sesuai yaitu metode yang menganut sistem sikon (sesuai dengan situasi dan kondisi) juga tidak ketinggalan toleransinya. Kondisi daerah setempat sangan menentukan mau menggunakan cara apakah seseorang dalam berdakwah, tidak memungkiri juga bahkan kebudayaan setempat kadangkala dimasukkan dalam model berdakwah, memang sejatinya yang akan disampaikan bertentangan dengan kebudayaan yang ada tetapi di sini uniknya bagaimanakah sang da’i bisa mengkorelasikan kebudayaan dengan dakwah tentunya tanpa menghilangkan nilai – nilai luhur yang ada dan terus ingat bahwa dakwah adalah mengislamkan seseorang yang belum islam untuk menjadi islam dan menjadikan orang yang islamn menjadi benar -  benar islam bukan sekedar islam KTP.
Dunia dakwah penuh rintangan seperti halnya dunia kita hidup ini. Itu karena dengan berprilaku sehari – hari (islami) kita telah berdakwah yaitu memberi contoh untuk berperilaku yang baik pada orang lain spesifiknya orang yang ada di sekitar kita, oleh karena itu unsur budaya yang selalu dominan dikerjakan oleh manusia sekitar menjadi sebuah jalan yang amat berpeluang dalam berdakwah. Kali ini sang pemakalah akan mencoba mengkaji model dakwah berbasis budaya, bagaimanakah natinya budaya ini dijadikan model dakwah dan bagaimana dakwah bisa membahur dengan budaya akan diterangkan pada maklah ini.
II.           Rumusan Masalah
a)      Siapakah sang sunan kali jaga itu?
b)      Bagaimana dia berdakwah di jawa?
c)      Apa sajakah rahasia dibalik hal yang dia lakukan?
                                                         
















BAB II
I.              Pembahasan
A.  Sosok Sunan Kalijaga
Nama asli beliau adalah Raden Syahid dan disebut pula Syaikh Malaya karena beliau adalah putra Tumenggung Melayukusuma[1] di Jepara. Sunan kali jaga juga terkenal dengan julukan Brandal Lokajaya, seorang yang semula menjalani kehidupan gelap, sesat dan jahat. Berkat dakwah Sunan Bonang, Brandal Lokajaya bertobat ke jalan yang benar, bahkan menjadi seorang utama yang berhak menyandang gelar kehormatan, yaitu sebagai wali penutup dan wali pusat. Sesuai dengan kedudukan tersebut, ia memang sangat populer, terkenal, bahkan melebihi kemasyhuran guru – gurunya.
Di hutan Jatisari itulah Raden Syahid menjadi pembegal yang kejam Janma mara janma mati, siapa yang menjadi korbannya tentu binasa terutama bila berani menolak permintaannya. Sebutan Sunan Kalijaga diberikan kepadanya karena ia telah bertapa dan menelusur ke hilir sepanjang sungai kecil di daerah Cirebon. Dengan demikian beliau seperti penkjaga kali layaknya.
Sunan Kalijaga sangatlah terkenal disegala lapisan masyarakat Jawa. Beliaulah yang paling banyak mendekati serta bergaul dengan raja – raja, para penguasa, dan orang – orang besar. Disamping itu, beliau memiliki lingkup pergaulan dengan rakyat jelata dan orang – orang kecil di desa – desa. Beliaulah yang dihormati oleh istana dan sebaliknya melekat pula di hati rakyat jelata yang bukan hanya menghargai, tetapi juga memuja – muja karena cinta.[2]
Sunan Kalijaga dilukiskan hidup dalam empat era pemerintahan. Yakni masa Majapahit (sebelum 1478), Kesultanan Demak (1481-1546), Kesultanan Pajang (1546-1568), dan awal pemerintahan Mataram (1580-an). Begitulah yang dinukilkan Babad Tanah Jawi, yang memerikan kedatangan Sunan Kalijaga ke kediaman Panembahan Senopati di Mataram.
Tak lama setelah itu, Sunan Kalijaga wafat. Jika kisah itu benar, Sunan Kalijaga hidup selama sekitar 150-an tahun! Tapi, lepas dari berbagai versi itu, kisah Sunan Kalijaga memang tak pernah padam di kalangan masyarakat pesisir utara Jawa Tengah, hingga Cirebon. Terutama caranya berdakwah, yang dianggap berbeda dengan metode para wali yang lain.
B.  Dakwah Sunan Kalijaga
Ia memadukan dakwah dengan seni budaya yang mengakar di masyarakat. Misalnya lewat wayang, gamelan, tembang, ukir, dan batik, yang sangat populer pada masa itu. Babad dan serat mencatat Sunan Kalijaga sebagai penggubah beberapa tembang, diantaranya Dandanggula Semarangan – paduan melodi Arab dan Jawa.
Menurut cerita, Sebelum menjadi Walisongo, Raden Said adalah seorang perampok yang selalu mengambil hasil bumi di gudang penyimpanan Hasil Bumi. Dan hasil rampokan itu akan ia bagikan kepada orang-orang yang miskin. Suatu hari, Saat Raden Said berada di hutan, ia melihat seseorang kakek tua yang bertongkat. Orang itu adalah Sunan Bonang. Karena tongkat itu dilihat seperti tongkat emas, ia merampas tongkat itu. Katanya, hasil rampokan itu akan ia bagikan kepada orang yang miskin. Tetapi, Sang Sunan Bonang tidak membenarkan cara itu. Ia menasihati Raden Said bahwa Allah tidak akan menerima amal yang buruk. Lalu, Sunan Bonang menunjukan pohon aren emas dan mengatakan bila Raden Said ingin mendapatkan harta tanpa berusaha, maka ambillah buah aren emas yang ditunjukkan oleh Sunan Bonang. Karena itu, Raden Said ingin menjadi murid Sunan Bonang. Raden Said lalu menyusul Sunan Bonang ke Sungai. Raden Said berkata bahwa ingin menjadi muridnya. Sunan Bonang lalu menyuruh Raden Said untuk bersemedi sambil menjaga tongkatnya yang ditancapkan ke tepi sungai. Raden Said tidak boleh beranjak dari tempat tersebut sebelum Sunan Bonang datang. Raden Said lalu melaksanakan perintah tersebut. Tiga tahun kemudian, Sunan Bonang datang dan membangunkan Raden Said. Karena ia telah menjaga tongkatnya yang ditancapkan ke sungai, maka Raden Said diganti namanya menjadi Kalijaga. Kalijaga lalu diberi pakaian baru dan diberi pelajaran agama oleh Sunan Bonang. Kalijaga lalu melanjutkan dakwahnya dan dikenal sebagai Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf" -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil memengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Tidak mengherankan, ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul - gundul Pacul. Dialah menggagas baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu ("Petruk Jadi Raja"). Lanskap pusat kota berupa kraton, alun - alun dengan dua beringin serta masjid diyakini pula dikonsep oleh Sunan Kalijaga.
Kanjeng Sunan lebih suka menggunakan bahasa Jawa, bukan berarti beliau tidak suka dengan bahasa Arab, atau bahasa Melayu. Beliau lebih sreg dengan menggunakan bahasa Jawa. Pesan - pesan beliau yang tertulis juga menggunakan bahasa Jawa, didalam realitasnya, beliau mampu memberikan teladan kepada masyarakat sekitarnya. Beliau pernah menyampaikan sebuah pesan terkait dengan dakwahnya yang berbunyi:”
“Yen wis tibo titiwancine kali - kali ilang kedunge, pasar ilang kumandange, wong wadon ilang wirange mangka enggal - enggala tapa lelana njlajah desa milang kori patang sasi aja ngasik balik yen during olih pituduh (hidayah) saka gisti Allah” Yang artinya kurang lebih sebagai berikut: “Jika sudah tiba jamannya di mana sungai-sungai hilang kedalamannya (banyak orang yang berilmu yang tidak amalkan ilmunya), pasar hilang gaungnya (pasar orang beriman adalah masjid, jika masjid-masjid tiada azan, wanita-wanita hilang malunya (tidak menutup aurat dan sebagainya) maka cepat-cepatlah kalian keluar 4 bulan dari desa ke desa (dari kampung ke kampung), dari pintu ke pintu (dari rumah ke rumah untuk dakwah), janganlah pulang sebelum mendapat hidayah dari Allah Swt.
Tidak hanya kanjeng Sunan Kalijogo yang menyampaikan dakwahnya menggunakan pendekatan budaya. Sunan Drajat juga menggunakan pendekatan budaya. Sudan Drajat lebih suka menyampaiak pesan al-Qur’an dan hadis dengan menggunakan bahasa Jawa” sebagaimana dicatat oleh sejarah:” Menehono teken wong kang wuto (buta), Menehono pangan marang wong kang luwe (kelaparan), menehono busono marang wong kang wudo (telanjang), menehono ngiyup marang wong kang kaudanan (kehujajan).[3]
Filsafat dakwah para ulama’ terdahulu mendahulukan moral (Haliyah), sehingga lebih mengena terhadap sasaran atau tujuan. Para ulama’ itu juga sangat cerdas di dalam melakukan pendekatan, sebagaimana Nabi melakukan dakwahnya ketika di Makkah. Para ilmuan, seperti Fahruddin al-Rozi,[4] Ibnu Kholdun, al-Ghozali,[5] al-Nawawi senantiasa mengunakan pola yang sedang berkembang kala itu. Semua fikiran (ilmu)nya dituangkan dalam sebuah karya ilmiyah, yang selanjutnya dapat dinikmati hingga saat ini.
Mereka telah tiada, tetapi buah pikiranya masih sangat terasa, bahkan dibaca oleh jutaan manusia dibelahan dunia. Mereka perintis kebaikan, mewarisi ilmunya para Nabi, dan melanjutkan cita - cita Nabi. Sudah pasti, mereka memperoleh aliran pahala (royalti) dari jerih payahnya selama merintis kebaikan kala itu. Nabi pernah menuturkan:” Barang siapa merintis (sunnah) kebaikan didalam agama islam, kemudian kebaikan itu dilakukan, maka ia akan memperoleh pahala, serta memperoleh pahala kebaikan orang yang melakukanya sepeninggalnya”.[6]
C.  Rahasia Dibalik Dakwah Sunan Kalijaga
Dalam berdakwah sang Sunan memegang prinsip yaitu islam berjalan dengan periode yang berbeda – beda sebagaimana perjalanan makhluk hidup.[7] Untuk itu beliau tidak menghilangkan unsur – unsur kebudayaan yang ada pada masyarakat setempat dan lebih bagus lagi ketika beliau dalam berdakwah mempergunakan hal yang disukai masyarakat setempat misalnya wayang barongan (tegal), pantun (pajajaran), wayang kulit (Jatim) dan sebagainya.[8]
Islam penutup dari agama – agama Allah, dia dijadikan sesuai untuk seluruh perobahan kehidupan manusia dalam berbagai bentuk pertumbuhan dan tingkatan. Terus bagaimanakah cara kita untuk membuat hal tersebut bisa diterima oleh masyarakat luas bila kita tidak bisa memadukan unsur budaya dengan cara berdakwah. Dakwah Sunan kalijaga ini amatlah merasuk dan mudah diterima oleh khalayak dikarenakan sang Sunan berhasil mengemas nilai nilai islam yang ada dengan berkedok (berbahur) terhadap hal yang disukai oleh masyarakat setempat.
Sekarang kalo sang sunan bisa melakukan hal tersebut dan tentunya kita telah mengetahui mengapa Sunan menggunakan cara tersebut, maka kita tentunya harus bisa meniru perilaku yang demikian ini yaitu harus bisa meneruskan perjuangan beliau untuk membesarkan agama islam atau dalam istilah jawa yaitu nguri – nguri.
Di era modern, dunia sudah menjadi satu, busana laki-laki dan wanita sulit untuk dibedakan. Nama laki-laki sering dipakai oleh seorang wanita, begitu juga sebaliknya. Pola fikirnya juga tidak jauh berebda antara kaum hawa dan lelaki. Yang membedakan hanyalah kodratnya wanita yang masih melahirkan, walaupun ahir-ahir ini kaum wanita mulai menggugat dengan “‘Revolusi Seksual”. Mereka tidak ingin menikah, mereka bisa memiliki anak tanpa harus menikah, mereka menggugat kesakralan penikahan.
Pergaulan muda-mudi seringkali kebablasan, dan sulit dikontrol lagi, bahkan sampai berbuat kriminal. Orang sibuk mencari rejeki dikota-kota besar, bahkan pergi keluar Negeri untuk mengadu nasib, tanpa memperdulikan tuhan sang pemberi rejeki. Mereka lupa, bahwa tuhanlah yang menghendaki dan merubah dunia dan isinya. Orantua tega membunuh anaknya sendiri, begitu juga sebaliknya. Yang kuat selalu berkuasa dan berbuat semena-mena, dan yang miskin selalu tertindas, semakin hari semakin menjerit.
Yen wis tibo titiwancine kali-kali ilang kedunge, pasar ilang kumandange, wong wadon ilang wirange mangka enggal - enggala tapa lelana njlajah desa milang kori patang sasi aja ngasik balik yen during olih pituduh (hidayah) saka gisti Allah.
Kondisi seperti ini sangat memprihatinkan, sudah saatnya bertapa (puasa) untuk mencari petunjuk-Nya. Sholat malam, puasa sunnah, menjalankan sholat lima waktu, memohon kepada-Nya ditenggah keheningan malam agar memperoleh hidayah-Nya. Seringkali renungan ditenggah malam mampu menembus langit, sehingga tuhan berkenan memberikan methode ampuh, yang kemudian bisa untuk menyampaikan pesan-pesan al-Qur’an dan Sunah kepada masyarakat.
Internet, TV, dan juga Media masa adalah salah satu media atau alat untuk menyampaikan pesan-pesan tuhan dan Nabi di muka bumi. Dan ini adalah dakwah di dunia modern, bukan berarti meninggalkan cara-cara klasik, seperti ngaji (halakoh) di masjid-masjid atau musolla. Karena methode klasik ini masih relevan, perlu dipertahankan dan lestarikan. Namun, terus mencoba mencari terobosan baru di dunia modern ini, seperti mengenalkan Nabi dengan layar lebar, atau membuktikan ke-ilmiyahan al-Qur’an dan dawuhnya Nabi. Dengan harapan, semua itu dapat merubah moral generasi bangsa menjadi lebih baik.
Njlajah desa milang kori patang sasi aja ngasik balik yen during olih pituduh (hidayah) saka gusti Allah. Di dunia Modern, tehnologi dan informasi menjadi alat untuk menjelajahi dunia maya (internet), dengan menulis pesan-pesan tuhan lewat internet, agar semua orang bisa membaca dan mengambil manfaatnya. Dan ini adalah cara terbaik, di era modern dan internitasi. Dakwah kita terus kita perbaiki dengan inovasi, sehingga menarik dan bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya. Yang lebih penting lagi, senantiasa berdo’a siang dan malam, agar mendapatkan petujuk dan pertolongan-Nya.

II.           Kesimpulan
Sunan kalijaga berhasil membuat inofasi dan menggelegar dunia pada masanya, yaitu berhasil menyebarkan agama islam dengan cara yang mudah diterima oleh masyarakat Indonesia. Untuk bisa seperti itu diperlukan pemikiran yang amat jenius juga perlu membahur dengan masyarakat setempat, jadi sebagai penerus perjuangan beliau sebaiknya kita juga harus bisa menemukan cara yang jitu dalam menyebarkan nilai – nilai islam yang luhur pada masyarakat. Janganlah mudah menyerah dan jangalah mudah puas dengan hal yang telah kita lakukan, bila kita bisa lebih mengapa tidak kita wujudkan.
Tentunya seseorang yang berdakwahwah haruslah mempunyai ilmu yang memadahi supaya tidak keliru dalam menyalurkan ilmu – ilmu agama dan semakin banyak ilmu seseorang maka akan semakin berwibawalah orang tersebut sehingga semakin baiklah ia menyampaikan dakwahnya.


















Daftar Kepustakaan
Saksono, Widji, Mengislamkan Tanah Jawa Telaah Atas Dakwah Walisongo, Bandung : MIZAN, 1995
Ihsan, Hodayat, Sunan Drajat dalam Legenda dan Sejerahnya, 36- 2002, tanpa Penerbit
Syihata, Abdullah, DA’wah Islamiyah, Jakarta: 1986
Saksono, Widji, Mengislamkan Tanah Jawa Telaah Atas Dakwah Walisongo, Bandung : MIZAN, 1995



[1] Tumenggung Melayukusuma semula berasal dari seberang, keturunan seorang ulama’ negeri atas angin yang setelah ke jawa diangkat menjadi adipati Tuban oleh Sri Prabu Brawijaya, sehingga ia berganti nama menjadi Tumenggung Wilatikta (majapahit). Kemungkinan besar Tumenggung Wilatikta adalah seorang emigran Jawa pada koloni Jawa di Malaka, yang telah memeluk agama islam di  Malaka, kemudian dia kembali lagi dan seterusnya menetap di Jawa.
[2] Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa Telaah Atas Dakwah Walisongo, (Bandung : MIZAN, 1995), Hlm. 30-32
[3] Hodayat Ihsan, Sunan Drajat dalam Legenda dan Sejerahnya, 36- 2002, tanpa Penerbit.
[4] Beliau mendapat julukan Syaih al-Islam, karena otoritas keilmuan yang dimiliki dalam lintas disiplin ilmu seperti; al-Qur’an, al-Hadis, tafsir, fikih, usul fikih, sastra Arab, perbandingan agama, filsafat, logika (mantik), metafisika, fisika, dan kedokteran ( ISLMIA, Thn II No. 5/ April-Juni, 2005).
[5] Ia mendapat julukan Hujjatu al-Islam, karena mampu menjadi pembela islam. Hujjatul Islam dipercaya memberikan fatwa-fatwa, karena kemampuan yang dimilikinya serta menelaah al-Qur’an dan al-Sunnah ( Zulkifli, 44-Gelar dalam Islam-2009)
[6] H.R Imam Muslim, 2398
[7] Abdullah Syihata, DA’wah Islamiyah, (Jakarta: 1986), hlm. 19
[8] Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa Telaah Atas Dakwah Walisongo, (Bandung : MIZAN, 1995), Hlm. 71

Tidak ada komentar: