Model Dakwah Berbasis Budaya
(Model Dakwah Sunan Kalijaga Sebagai Perwujudan Model Dakwah
Berbasis Budaya)
BAB I
I.
Pendahuluan
Dakwah adalah sebuah proses penyebaran agama islam kepada khalayak
ramai. Tentunya selayaknya sebuah proses juga membutuhkan metode ataupun cara –
cara yang jitu untuk dapat tersebar, adapun metode yang paling sesuai yaitu
metode yang menganut sistem sikon (sesuai dengan situasi dan kondisi) juga
tidak ketinggalan toleransinya. Kondisi daerah setempat sangan menentukan mau
menggunakan cara apakah seseorang dalam berdakwah, tidak memungkiri juga bahkan
kebudayaan setempat kadangkala dimasukkan dalam model berdakwah, memang
sejatinya yang akan disampaikan bertentangan dengan kebudayaan yang ada tetapi
di sini uniknya bagaimanakah sang da’i bisa mengkorelasikan kebudayaan dengan
dakwah tentunya tanpa menghilangkan nilai – nilai luhur yang ada dan terus
ingat bahwa dakwah adalah mengislamkan seseorang yang belum islam untuk menjadi
islam dan menjadikan orang yang islamn menjadi benar - benar islam bukan sekedar islam KTP.
Dunia dakwah penuh rintangan seperti halnya dunia kita hidup ini.
Itu karena dengan berprilaku sehari – hari (islami) kita telah berdakwah yaitu
memberi contoh untuk berperilaku yang baik pada orang lain spesifiknya orang
yang ada di sekitar kita, oleh karena itu unsur budaya yang selalu dominan
dikerjakan oleh manusia sekitar menjadi sebuah jalan yang amat berpeluang dalam
berdakwah. Kali ini sang pemakalah akan mencoba mengkaji model dakwah berbasis
budaya, bagaimanakah natinya budaya ini dijadikan model dakwah dan bagaimana
dakwah bisa membahur dengan budaya akan diterangkan pada maklah ini.
II.
Rumusan
Masalah
a)
Siapakah
sang sunan kali jaga itu?
b)
Bagaimana
dia berdakwah di jawa?
c)
Apa
sajakah rahasia dibalik hal yang dia lakukan?
BAB II
I.
Pembahasan
A.
Sosok
Sunan Kalijaga
Nama asli beliau adalah Raden Syahid dan disebut pula Syaikh Malaya
karena beliau adalah putra Tumenggung Melayukusuma di
Jepara. Sunan kali jaga juga terkenal dengan julukan Brandal Lokajaya, seorang
yang semula menjalani kehidupan gelap, sesat dan jahat. Berkat dakwah Sunan Bonang,
Brandal Lokajaya bertobat ke jalan yang benar, bahkan menjadi seorang utama
yang berhak menyandang gelar kehormatan, yaitu sebagai wali penutup dan wali
pusat. Sesuai dengan kedudukan tersebut, ia memang sangat populer, terkenal,
bahkan melebihi kemasyhuran guru – gurunya.
Di hutan Jatisari itulah Raden Syahid menjadi pembegal yang kejam Janma
mara janma mati, siapa yang menjadi korbannya tentu binasa terutama bila
berani menolak permintaannya. Sebutan Sunan Kalijaga diberikan kepadanya karena
ia telah bertapa dan menelusur ke hilir sepanjang sungai kecil di daerah
Cirebon. Dengan demikian beliau seperti penkjaga kali layaknya.
Sunan Kalijaga sangatlah terkenal disegala lapisan masyarakat Jawa.
Beliaulah yang paling banyak mendekati serta bergaul dengan raja – raja, para
penguasa, dan orang – orang besar. Disamping itu, beliau memiliki lingkup pergaulan
dengan rakyat jelata dan orang – orang kecil di desa – desa. Beliaulah yang
dihormati oleh istana dan sebaliknya melekat pula di hati rakyat jelata yang
bukan hanya menghargai, tetapi juga memuja – muja karena cinta.
Sunan Kalijaga dilukiskan hidup
dalam empat era pemerintahan. Yakni masa Majapahit (sebelum 1478), Kesultanan
Demak (1481-1546), Kesultanan Pajang (1546-1568), dan awal pemerintahan Mataram
(1580-an). Begitulah yang dinukilkan Babad Tanah Jawi, yang memerikan
kedatangan Sunan Kalijaga ke kediaman Panembahan Senopati di Mataram.
Tak lama
setelah itu, Sunan Kalijaga wafat. Jika kisah itu benar, Sunan Kalijaga hidup
selama sekitar 150-an tahun! Tapi, lepas dari berbagai versi itu, kisah Sunan
Kalijaga memang tak pernah padam di kalangan masyarakat pesisir utara Jawa
Tengah, hingga Cirebon. Terutama caranya berdakwah, yang dianggap berbeda
dengan metode para wali yang lain.
B. Dakwah
Sunan Kalijaga
Ia
memadukan dakwah dengan seni budaya yang mengakar di masyarakat. Misalnya lewat
wayang, gamelan, tembang, ukir, dan batik, yang sangat populer pada masa itu.
Babad dan serat mencatat Sunan Kalijaga sebagai penggubah beberapa tembang, diantaranya
Dandanggula Semarangan – paduan melodi Arab dan Jawa.
Menurut cerita, Sebelum menjadi Walisongo, Raden Said adalah seorang perampok yang selalu
mengambil hasil bumi di gudang penyimpanan Hasil Bumi. Dan hasil rampokan itu
akan ia bagikan kepada orang-orang yang miskin. Suatu hari, Saat Raden Said
berada di hutan, ia melihat seseorang kakek tua yang bertongkat. Orang itu
adalah Sunan Bonang. Karena tongkat itu dilihat seperti tongkat emas, ia
merampas tongkat itu. Katanya, hasil rampokan itu akan ia bagikan kepada orang
yang miskin. Tetapi, Sang Sunan Bonang tidak membenarkan cara itu. Ia
menasihati Raden Said bahwa Allah tidak akan menerima amal yang buruk. Lalu, Sunan
Bonang menunjukan pohon aren emas dan mengatakan bila Raden Said ingin
mendapatkan harta tanpa berusaha, maka ambillah buah aren emas yang ditunjukkan
oleh Sunan Bonang. Karena itu, Raden Said ingin menjadi murid Sunan Bonang. Raden
Said lalu menyusul Sunan Bonang ke Sungai. Raden Said berkata bahwa ingin
menjadi muridnya. Sunan Bonang lalu menyuruh Raden Said untuk bersemedi sambil
menjaga tongkatnya yang ditancapkan ke tepi sungai. Raden Said tidak boleh
beranjak dari tempat tersebut sebelum Sunan Bonang datang. Raden Said lalu melaksanakan
perintah tersebut. Tiga tahun kemudian, Sunan Bonang datang dan membangunkan
Raden Said. Karena ia telah menjaga tongkatnya yang ditancapkan ke sungai, maka
Raden Said diganti namanya menjadi Kalijaga. Kalijaga lalu diberi pakaian baru
dan diberi pelajaran agama oleh Sunan Bonang. Kalijaga lalu melanjutkan
dakwahnya dan dikenal sebagai Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor
sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf" -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia
juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat
bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus
didekati secara bertahap: mengikuti sambil memengaruhi. Sunan Kalijaga
berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama
hilang. Tidak mengherankan, ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam
mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara
suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul
- gundul Pacul. Dialah menggagas baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk
Dadi Ratu ("Petruk Jadi Raja"). Lanskap pusat kota berupa
kraton, alun - alun dengan dua beringin serta masjid diyakini pula dikonsep
oleh Sunan Kalijaga.
Kanjeng Sunan lebih suka menggunakan bahasa Jawa,
bukan berarti beliau tidak suka dengan bahasa Arab, atau bahasa Melayu. Beliau
lebih sreg dengan menggunakan bahasa Jawa. Pesan - pesan beliau yang tertulis juga
menggunakan bahasa Jawa, didalam realitasnya, beliau mampu memberikan teladan
kepada masyarakat sekitarnya. Beliau pernah menyampaikan sebuah pesan terkait
dengan dakwahnya yang berbunyi:”
“Yen wis tibo titiwancine kali - kali ilang kedunge,
pasar ilang kumandange, wong wadon ilang wirange mangka enggal - enggala tapa
lelana njlajah desa milang kori patang sasi aja ngasik balik yen during olih
pituduh (hidayah) saka gisti Allah” Yang artinya kurang lebih sebagai berikut:
“Jika sudah tiba jamannya di mana sungai-sungai hilang kedalamannya (banyak
orang yang berilmu yang tidak amalkan ilmunya), pasar hilang gaungnya (pasar
orang beriman adalah masjid, jika masjid-masjid tiada azan, wanita-wanita
hilang malunya (tidak menutup aurat dan sebagainya) maka cepat-cepatlah kalian
keluar 4 bulan dari desa ke desa (dari kampung ke kampung), dari pintu ke pintu
(dari rumah ke rumah untuk dakwah), janganlah pulang sebelum mendapat hidayah
dari Allah Swt.
Tidak hanya kanjeng Sunan Kalijogo yang menyampaikan
dakwahnya menggunakan pendekatan budaya. Sunan Drajat juga menggunakan
pendekatan budaya. Sudan Drajat lebih suka menyampaiak pesan al-Qur’an dan hadis
dengan menggunakan bahasa Jawa” sebagaimana dicatat oleh sejarah:” Menehono
teken wong kang wuto (buta), Menehono pangan marang wong kang luwe (kelaparan),
menehono busono marang wong kang wudo (telanjang), menehono ngiyup marang wong
kang kaudanan (kehujajan).
Filsafat dakwah para ulama’ terdahulu mendahulukan
moral (Haliyah), sehingga lebih mengena terhadap sasaran atau tujuan. Para
ulama’ itu juga sangat cerdas di dalam melakukan pendekatan, sebagaimana Nabi
melakukan dakwahnya ketika di Makkah. Para ilmuan, seperti Fahruddin al-Rozi, Ibnu
Kholdun, al-Ghozali,
al-Nawawi senantiasa mengunakan pola yang sedang berkembang kala itu. Semua
fikiran (ilmu)nya dituangkan dalam sebuah karya ilmiyah, yang selanjutnya dapat
dinikmati hingga saat ini.
Mereka telah tiada, tetapi buah pikiranya masih sangat
terasa, bahkan dibaca oleh jutaan manusia dibelahan dunia. Mereka perintis
kebaikan, mewarisi ilmunya para Nabi, dan melanjutkan cita - cita Nabi. Sudah
pasti, mereka memperoleh aliran pahala (royalti) dari jerih payahnya selama
merintis kebaikan kala itu. Nabi pernah menuturkan:” Barang siapa merintis
(sunnah) kebaikan didalam agama islam, kemudian kebaikan itu dilakukan, maka ia
akan memperoleh pahala, serta memperoleh pahala kebaikan orang yang melakukanya
sepeninggalnya”.
C. Rahasia Dibalik Dakwah Sunan Kalijaga
Dalam berdakwah sang Sunan memegang
prinsip yaitu islam berjalan dengan periode yang berbeda – beda sebagaimana
perjalanan makhluk hidup. Untuk
itu beliau tidak menghilangkan unsur – unsur kebudayaan yang ada pada
masyarakat setempat dan lebih bagus lagi ketika beliau dalam berdakwah
mempergunakan hal yang disukai masyarakat setempat misalnya wayang barongan
(tegal), pantun (pajajaran), wayang kulit (Jatim) dan sebagainya.
Islam penutup dari agama – agama Allah,
dia dijadikan sesuai untuk seluruh perobahan kehidupan manusia dalam berbagai
bentuk pertumbuhan dan tingkatan. Terus bagaimanakah cara kita untuk membuat
hal tersebut bisa diterima oleh masyarakat luas bila kita tidak bisa memadukan
unsur budaya dengan cara berdakwah. Dakwah Sunan kalijaga ini amatlah merasuk
dan mudah diterima oleh khalayak dikarenakan sang Sunan berhasil mengemas nilai
nilai islam yang ada dengan berkedok (berbahur) terhadap hal yang disukai oleh
masyarakat setempat.
Sekarang kalo sang sunan bisa melakukan
hal tersebut dan tentunya kita telah mengetahui mengapa Sunan menggunakan cara
tersebut, maka kita tentunya harus bisa meniru perilaku yang demikian ini yaitu
harus bisa meneruskan perjuangan beliau untuk membesarkan agama islam atau
dalam istilah jawa yaitu nguri – nguri.
Di era modern, dunia sudah menjadi satu,
busana laki-laki dan wanita sulit untuk dibedakan. Nama laki-laki sering
dipakai oleh seorang wanita, begitu juga sebaliknya. Pola fikirnya juga tidak
jauh berebda antara kaum hawa dan lelaki. Yang membedakan hanyalah kodratnya
wanita yang masih melahirkan, walaupun ahir-ahir ini kaum wanita mulai
menggugat dengan “‘Revolusi Seksual”. Mereka tidak ingin menikah, mereka bisa
memiliki anak tanpa harus menikah, mereka menggugat kesakralan penikahan.
Pergaulan muda-mudi seringkali kebablasan,
dan sulit dikontrol lagi, bahkan sampai berbuat kriminal. Orang sibuk mencari
rejeki dikota-kota besar, bahkan pergi keluar Negeri untuk mengadu nasib, tanpa
memperdulikan tuhan sang pemberi rejeki. Mereka lupa, bahwa tuhanlah yang
menghendaki dan merubah dunia dan isinya. Orantua tega membunuh anaknya
sendiri, begitu juga sebaliknya. Yang kuat selalu berkuasa dan berbuat
semena-mena, dan yang miskin selalu tertindas, semakin hari semakin menjerit.
Yen wis tibo titiwancine kali-kali ilang
kedunge, pasar ilang kumandange, wong wadon ilang wirange mangka enggal -
enggala tapa lelana njlajah desa milang kori patang sasi aja ngasik balik yen
during olih pituduh (hidayah) saka gisti Allah.
Kondisi seperti ini sangat memprihatinkan,
sudah saatnya bertapa (puasa) untuk mencari petunjuk-Nya. Sholat malam, puasa
sunnah, menjalankan sholat lima waktu, memohon kepada-Nya ditenggah keheningan
malam agar memperoleh hidayah-Nya. Seringkali renungan ditenggah malam mampu
menembus langit, sehingga tuhan berkenan memberikan methode ampuh, yang
kemudian bisa untuk menyampaikan pesan-pesan al-Qur’an dan Sunah kepada
masyarakat.
Internet, TV, dan juga Media masa adalah
salah satu media atau alat untuk menyampaikan pesan-pesan tuhan dan Nabi di
muka bumi. Dan ini adalah dakwah di dunia modern, bukan berarti meninggalkan
cara-cara klasik, seperti ngaji (halakoh) di masjid-masjid atau musolla. Karena
methode klasik ini masih relevan, perlu dipertahankan dan lestarikan. Namun,
terus mencoba mencari terobosan baru di dunia modern ini, seperti mengenalkan
Nabi dengan layar lebar, atau membuktikan ke-ilmiyahan al-Qur’an dan dawuhnya
Nabi. Dengan harapan, semua itu dapat merubah moral generasi bangsa menjadi lebih
baik.
Njlajah desa milang kori patang sasi aja
ngasik balik yen during olih pituduh (hidayah) saka gusti Allah. Di dunia
Modern, tehnologi dan informasi menjadi alat untuk menjelajahi dunia maya
(internet), dengan menulis pesan-pesan tuhan lewat internet, agar semua orang
bisa membaca dan mengambil manfaatnya. Dan ini adalah cara terbaik, di era
modern dan internitasi. Dakwah kita terus kita perbaiki dengan inovasi,
sehingga menarik dan bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya. Yang lebih
penting lagi, senantiasa berdo’a siang dan malam, agar mendapatkan petujuk dan
pertolongan-Nya.
II.
Kesimpulan
Sunan kalijaga berhasil membuat inofasi
dan menggelegar dunia pada masanya, yaitu berhasil menyebarkan agama islam
dengan cara yang mudah diterima oleh masyarakat Indonesia. Untuk bisa seperti
itu diperlukan pemikiran yang amat jenius juga perlu membahur dengan masyarakat
setempat, jadi sebagai penerus perjuangan beliau sebaiknya kita juga harus bisa
menemukan cara yang jitu dalam menyebarkan nilai – nilai islam yang luhur pada
masyarakat. Janganlah mudah menyerah dan jangalah mudah puas dengan hal yang
telah kita lakukan, bila kita bisa lebih mengapa tidak kita wujudkan.
Tentunya seseorang yang berdakwahwah
haruslah mempunyai ilmu yang memadahi supaya tidak keliru dalam menyalurkan
ilmu – ilmu agama dan semakin banyak ilmu seseorang maka akan semakin
berwibawalah orang tersebut sehingga semakin baiklah ia menyampaikan dakwahnya.
Daftar
Kepustakaan
Ihsan, Hodayat,
Sunan Drajat dalam Legenda dan Sejerahnya, 36- 2002, tanpa Penerbit
Syihata,
Abdullah, DA’wah Islamiyah, Jakarta: 1986
Hodayat Ihsan, Sunan Drajat dalam Legenda
dan Sejerahnya, 36- 2002, tanpa Penerbit.
Beliau
mendapat julukan Syaih al-Islam, karena otoritas keilmuan yang dimiliki dalam
lintas disiplin ilmu seperti; al-Qur’an, al-Hadis, tafsir, fikih, usul fikih,
sastra Arab, perbandingan agama, filsafat, logika (mantik), metafisika, fisika,
dan kedokteran ( ISLMIA, Thn II No. 5/ April-Juni, 2005).