MOTIVASI KERJA DAN
MENCARI RIZKI HALAL
MAKALAH
Disusun guna memenuhi
tugas
Mata Kuliah Hadits
Dosen Pengampu : Prof. DR. H.M. Erfan
Soebahar, M.A.
Disusun Oleh :
M.
Abdul Ghoffar 103211023 (PBA 2A)
M.
Baihaqi 103211024 (PBA
2A)
M. Yusuf Al Faruq 103211025
(PBA 2A)
Malihatun Nisa’ 103211026
(PBA 2A)
FAKULTAS
TARBIYAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
MOTIVASI KERJA DAN
MENCARI RIZKI HALAL
I. PENDAHULUAN
Agama Islam telah memberikan penghargaan
yang sangat tinggi terhadap orang yang bekerja dengan sungguh-sugguh. Hal ini
terbukti dengan begitu banyaknya firman Allah SWT. dan hadits Nabi SAW. yang
memotivasi manusia untuk giat bekerja dan menjauhi sikap-sikap yang menunjukkan
kelemahan dan kemalasan. Nabi Muhammad SAW. juga telah menyatakan bahwa tangan
di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Akan tetapi alangkah tersayatnya
hati ini jika melihat fenomena akhir-akhir ini. Begitu banyak orang yang dengan
senang hati menempatkan dirinya menjadi “tangan di bawah”. Bahkan hal itu sudah
menjadi panorama yang sangat tidak langka, dimana hampir di setiap perempatan
dan pemberhentian lampu merah, kita sering sekali menyaksikan orang-orang yang
mengulurkan tangannya meminta sedekah, bahkan mencegat para pengemudi dengan
kursi atau tong sampah dengan tanpa melupakan tulisan “untuk pembangunan
masjid”. Sungguhlah pemandangan seperti itu sangat tidak mencerminkan
karakteristik pribadi muslim yang merasa malu meminta dan besar keinginannya
untuk memberi.
Makalah ini berisi sedikit penjelasan
tentang beberapa hadits Nabi SAW. Yang memotivasi kita untuk selalu giat
bekerja dan mencari rizki halal. Yaitu bekerja yang dilandasi dengan semangat
tauhid dan tanggung jawab uluhiyah yang merupakan salah satu cirri khas dari
kepribadian seorang muslim.
II. RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini, penulis membatasi
masalah-masalah yang akan dibahas, meliputi:
A. Hadits-hadits Nabi Tentang Motivasi
Kerja
B. Kedudukan Orang yang Meminta-minta
Menurut Hadits Nabi
C. Sektor Lapangan Kerja dalam Perspektif
Hadits Nabi
III. PEMBAHASAN
A. Hadits-hadits Nabi Tentang Motivasi
Kerja
1. Sekilas Tentang Bekerja dan Mencari
Rizki Halal
Bekerja adalah segala aktivitas dinamis
dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani),
dan di dalam mencapai tujuannya tersebut dia berupaya dengan penuh kesungguhan
untuk mewujudkan prestasi yang optimal sebagai bukti pengabdian dirinya kepada
Allah SWT[1].
Di sisi lain, makna bekerja bagi seorang muslim adalah suatu upaya yang
sungguh-sungguh, dengan mengerahkan seluruh aset, pikir, dan dzikirnya untuk
mengaktualisasikan dan menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang harus
menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang
terbaik (khaira ummah) atau dengan kata lain dapat juga dikatakan bahwa
dengan bekerja manusia itu bisa memanusiakan dirinya[2].
Allah SWT. telah membekali semua sarana
kepada manusia demi kebaikan hidup mereka. Manusia diberi akal agar dijadikan
bekal untuk berpikir, tenaga dan fisik yang kuat agar dijadikan bekal untuk
beribadah dan bekerja, dan hati agar dijadikan bekal untuk menikmati dan
merasakan. Tentu saja manusia harus memanfaatkan dan mengoptimalkan kinerja
sarana-sarana tersebut sebagai wujud syukur pada-Nya. Bahkan Allah pun sudah
memberikan jaminan rizki kepada makhluq-makhluqNya, akan tetapi rizki yang
telah dijaminkan oleh-Nya tersebut tidak bisa datang dengan begitu saja,
melainkan perlu perjuangan dan usaha keras untuk menggapainya[3].
Mengingat betapa pentingnya bekerja dan
mencari rizki tersebut, maka Nabi Muhammad SAW. pun turut memotivasi ummatnya
untuk bekerja. Hal itu tercermin dari beberapa hadits beliau yang akan penulis coba
uraikan satu persatu.
2. Hadits-hadits Tentang Motivasi Kerja
Secara lebih hakiki, bekerja bagi
seorang muslim adalah ibadah, bukti pengabdian dan rasa syukurnya untuk
mengolah dan memenuhi panggilan Ilahi dalam memanfaatkan segala macam bentuk
potensi yang telah diberikan Allah SWT. Dengan bekerja itulah seseorang juga
dapat memperbanyak amal. Nabi SAW. Bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: أنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ، وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ، وَذَكَرَ الصَّدَقَةَ وَالْـتَّعَفُّفَ وَالْمَسْأَلَةَ:
(اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، فَالْيَدُ الْعُلْيَا هِيَ
الْمُنْفِقَةُ، وَالسُّفْلَى هِيَ السَّائِلَةُ). [4]
﴿ رواه البخاري فى كتاب الزكاة ﴾
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra. Bahwasanya
Rasulullah SAW. Bersabda saat beliau di atas mimbar, beliau menyebutkan tentang
shodaqoh, menjaga kehormatan diri, dan perihal meminta: “Tangan di atas lebih
baik daripada tangan di bawah. Tangan di atas adalah orang yang memberi. dan
tangan di bawah adalah orang yang meminta”. (HR. Bukhori dalam Kitab Zakat)
Secara umum, dapat dipahami dari hadits
tersebut bahwa Nabi Muhammad SAW. sangat menganjurkan orang-orang yang kaya
untuk bersedekah, dan orang-orang miskin untuk menjaga kehormatan diri dari
meminta-minta[5].
Mayoritas ahli hadits menafsirkan lafal اَلْيَدُ
الْعُلْيَا
pada hadits tersebut dengan المنفقة yang berarti orang yang mentasarufkan
hartanya, salah seorang di antaranya ada yang menafsirkan dengan المتعففة yaitu orang yang menjaga kehormatan
dirinya dari meminta-minta, ada juga yang mengartikannya dengan المعطى yaitu orang yang memberi. Memang banyak sekali
redaksi hadits di atas yang berbeda-beda, akan tetapi semakna, namun kesemuanya
saling mendukung bahwa yang dimaksud
disini adalah اَلْيَدُ
الْعُلْيَا orang yang mentasarufkan hartanya atau
orang yang memberi[6].
Sedangkan lafal الْيَد
السُّفْلَى dalam hadits
tersebut berarti orang yang meminta, ada juga yang mengatakan sebagai orang
yang mengambil pemberian, baik dengan meminta ataupun tidak. Namun menurut Ibnu
Arabi, yang dimaksud di situ adalah orang yang meminta, bukan orang yang
mengambil pemberian[7].
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tangan manusia dapat dibedakan menjadi
empat, yaitu:
a.
Orang
yang memberi (tergolong tangan di atas)
b.
Orang
yang meminta (baik yang mengambil pemberian ataupun tidak, semuanya tergolong tangan
di bawah)
c.
Orang
yang menjaga kehormatan diri dari mengambil pemberian (tergolong tangan di atas
secara maknawi)
d.
Orang
yang mengambil pemberian tanpa meminta (menjadi perselisihan para ulama’).[8]
Dari hadits tersebut juga dapat diambil
sebuah hikmah bahwasanya sebaiknya seseorang itu bekerja keras agar bisa
memberi dan menjaga kehormatan dirinya dari meminta-minta. Karena orang yang
seperti itu akan dijaga kehormatannya oleh Allah SWT. Dia akan mencukupkan
kebutuhannya dan menumbuhkan sifat qona’ah dalam hatinya. Sebagaimana hadits
Nabi SAW. “… Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya, maka Allah akan menjaga
kehormatan dirinya, dan barangsiapa yang menganggap cukup dengan apa yang telah
diberikan padanya, maka Allah akan mencukupkan kebutuhannya”. (HR. Bukhori)
Dalam haditsnya yang lain yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra., Nabi SAW. juga bersabda:
عَنْ أبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلمَّ:
(لأنْ يَحْتَطِبَ أحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِه، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أنْ يَسْألَ
أحَدًا فَيُعْطِيَه أوْ يـَمـْنَعَهُ).
﴿ رواه البخاري فى كتاب المساقاة ﴾[9]
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah ra. Dia bersabda: Sungguh jika salah seorang dari kamu
mengumpulkan seikat kayu bakar, lalu membawanya di atas punggung, (kemudian
menjualnya), itu lebih baik daripada meminta-minta pada orang lain, dimana
orang itu kadang memberinya dan kadang menolaknya. (HR. Bukhori dalam Kitab
Musaqoh)
Dalam hadits tersebut Nabi Muhammad
SAW. secara tersirat mengisyaratkan bahwa manusia itu tidak sepantasnya
merendahkan dirinya dengan meminta-minta. Karena meminta-minta itu jelas
menyalahi kodrat ilahi, yaitu kodrat Allah yang telah menciptakan manusia
sebagai makhluk yang mulia (QS. 18: 70). Pekerjaan mencari kayu bakar yang
telah disebutkan dalam hadits tersebut merupakan pekerjaan yang simpel,
walaupun cukup berat dan mengandung konsekuensi mendapatkan hasil yang sangat
minim. Akan tetapi, hal tersebut dianggap lebih terhormat jika dibandingkan
dengan meminta-minta[10].
Faedah diawalinya hadits tersebut
dengan qosam yaitu untuk menguatkan pada orang yang mendengar bahwa Nabi SAW.
dalam hadits tersebut sangat menganjurkan kita untuk menjaga kehormatan diri
dari meminta-minta dan menjauhkan diri darinya, walaupun dengan cara
merendahkan diri dalam mencari rizki dan menempuh kesulitan (mencari kayu bakar
dan memulung sampah misalnya). Kemudian yang dimaksud khoir dalam hadits
tersebut bukanlah untuk tafdhil, karena tiada sedikitpun kebaikan dalam
meminta-minta bagi orang yang mampu bekerja, bahkan menurut Imam Syafi’i haram
hukumnya orang tersebut untuk meminta-minta[11].
Nabi SAW.
juga bersabda :
عن المقدام رضي الله عنه، عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (مَا أكَلَ
أحَدٌ طَعَامًا قَطُّ، خَيْرًا مِنْ أنْ يَأكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ، وَإنَّ نَبِيَّ
اللهِ دَاوُدَ عَلَيْه السَّلاَمُ كَانَ يَأكُلُ مِنْ عَمِلَ يَدِهِ).[12] ﴿ رواه البخاري فى كتاب البـيوع ﴾
Diriwayatkan dari Miqdam ra. Dari Rasulullah SAW.,
beliau bersabda: “Tiada seorangpun yang makan makanan yang lebih baik daripada
makan yang ia peroleh dari hasil usahanya sendiri. Sesungguhnya Nabi Dawud as. pun
makan dari hasil usahanya sendiri”. (HR. Bukhori dalam Kitab Jual Beli)
Hadits tersebut menjelaskan bahwa
segala bentuk konsumsi baik berupa makan, minum, berpakaian, dan lain-lain itu
sebaiknya berasal dari hasil usaha sendiri, tidak karena diberi apalagi
meminta. Disebutkannya ‘makan’ dalam hadits tersebut itu karena makan adalah salah satu bentuk
konsumsi yang paling sering dilakukan. Karena itu, dapat diambil pelajaran
bahwa seseorang harus bekerja agar bisa melakukan konsumsi dan mencukupi
kebutuhannya.
Kemudian lafal ‘amali yadihi
(pekerjaan tangannya) disitu adalah kinayah dari al-kasb (bekerja). Hal
ini dikarenakan kebanyakan pekerjaan itu dilakukan dengan tangan. Jadi, tidak
menafikan pekerjaan yang dilakukan dengan tidak menggunakan tangan, seperti
upah yang didapat karena hasil mengaji al-Qur’an (kasb an-nadhor), menyimak
pelajaran (kasb as-sima’), berpuasa bagi orang yang telah meninggal (kasb
bi al-a’dho’ ukhro), dan lain-lain.[13]
Dalam hadits tersebut Rasulullah SAW. juga menyebutkan bahwa Nabi Dawud as. itu
juga makan dari hasil usahanya sendiri. Beliau merupakan seorang pembuat baju
besi (zarrad), padahal pada saat itu beliau sebagai raja. Dari sini pula
dapat diambil pelajaran bahwa siapapun itu apapun pangkatnya, tetap harus
bekerja dan mencari rizki yang halal.
B.
Kedudukan Orang yang Meminta-minta Menurut Hadits Nabi
Bekerja merupakan kewajiban bagi setiap
muslim yang sehat secara fisik dan mental. Bekerja juga merupakan wujud syukur
seseorang kepada Allah SWT. Karena dia telah memanfaatkan nikmat kesehatan
fisik dan segala bentuk potensi yang telah diberikan Allah padanya dengan baik
dan benar. Karena itulah Islam sangat menghargai orang yang bekerja keras dan
makan minum dari hasil usahanya sendiri. Sebaliknya, Islam sangat menentang
sikap meminta-minta, karena meminta-minta itu bukanlah cerminan pribadi seorang
muslim. Nabi SAW. pun telah menghimbau kita untuk menjaga kehormatan diri dan
tidak meminta-minta sebagaimana yang telah beliau jelaskan dalam
hadits-haditsnya. Bahkan dalam suatu hadits beliau mengancam secara halus bahwa
orang yang meminta-minta itu akan dekat dengan kemiskinan. Sebagaimana sabdanya
:
عَنْ أبِي كَبْشَة الأنْـمَارِي أنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلمَّ قال: ( مَنْ فَتَحَ عَلىَ نَفْسِهِ بَابًا مِنَ السُّؤاَلِ فَتَحَ اللهُ
عَلَيْهِ سَبْعِيْنَ بَابًا مِنَ الفَقْرِ)[14]. ﴿ رواه الترمذي ﴾
Diriwayatkan dari Abi Kabsyah al-Anmari ra.
Bahwasanya Rasulullah SAW. Bersabda: “Barangsiapa membuka sebuah pintu
meminta-minta untuk dirinya, maka Allah akan membukakan untuknya 70 pintu kefakiran”.
(HR. Turmudzi)
Pada hakikatnya meminta-minta hukumnya
haram dan tidak diperbolehkan kecuali ketika dalam keadaan dharurat. Penyebab
diharamkannya meminta-minta tidak terlepas dari beberapa hal berikut ini: Pertama, menampakkan komplain atau
pengaduan seseorang pada Allah. Kedua, menghinakan dirinya pada selain
Allah, padahal seorang muslim itu tidak pantas menghinakan dirinya pada selain
Allah SWT. Ketiga, Pada umumnya meminta-minta itu menyakiti perasaan
orang yang dimintai, karena barangkali dia tidak berkenan memberi dan malu akan
dianggap sebagai orang yang bakhil jika menolaknya. Jika ia memberi maka
uangnya berkurang, dan jika dia tidak memberi
maka derajatnya akan berkurang[15].
C. Sektor Lapangan Kerja dalam
Perspektif Hadits Nabi
Semua rizki manusia telah tersedia
dengan amat lengkap. Manusia hanya perlu bergerak (berhijrah) dan berusaha
untuk menjemput rizkinya. Ada
banyak sektor yang dapat dimasuki sebagai wadah untuk mengais rizki. Di
antaranya adalah sektor perdagangan, sektor pertanian, sektor perindustrian,
sektor jasa, dan beragam sektor lainnya. Berikut ini penulis akan coba
memaparkan sebagian kecil perspektif hadits-hadits Nabi terhadap sektor-sektor
tersebut.
1. Sektor Perdagangan (Bisnis)
Lembaran sejarah Islam telah mencatat
bahwa Nabi Muhammad SAW. dan para sahabatnya merupakan pebisnis ulung dalam hal
perdagangan yang memiliki semangat juang yang tinggi. Rasulullah dikenal
sebagai pedagang ulung yang bergelar al-Amin (dapat dipercaya). Abu Bakar dan
Utsman dikenal sebagai pedagang pakaian[16].
Bahkan ketika Rasulullah ditanya seorang sahabat mengenai mata pencaharian apa
yang paling baik, beliau menjawab: “Pekerjaan seseorang yang dilakukan sendiri
dan setiap jual beli yang baik (mabrur)”[17].
Ada juga hadits lain terkait keutamaan
berdagang (berbisnis). Hadits ini semakna dengan hadits yang diriwayatkan dari
Abu Hurairah ra. Nabi SAW. bersabda:
عَنِ الزُّبَـير بن العَوام رَضِيَ
اللهُ عَنْه، عَنِ النّبـِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: (لأنْ يَأخُذَ أحَدُكُمْ حَبْلَهُ، فَيَأتِيَ بِـحُزْمَةِ الْحَطَبِ
عَلَى ظَهْرِهِ فَيَـبِيْعُها، فَيَكُفُّ اللهُ بِها وَجْهَهُ، خَيْرٌ لَه مِنْ أنْ
يَسْألَ النَّاسَ، أعْطَوْهُ أوْ مَنَعُوْه)[18]. ﴿ رواه
البخاري فى كتاب المساقاة ﴾
Diriwayatkan
dari Zubair bin Awwam ra. Dari Nabi SAW. beliau bersabda: “Sungguh jika salah
seorang di antara kamu mengambil talinya, kemudaian membawa seikat kayu bakar
di punggungnya, lalu menjualnya, sehingga Alah menutup air mukanya
(kebutuhannya), maka itu lebih baik daripada meminta-minta kepada orang,
dimana ia diberi maupun ditolak”. (HR.
Bukhori)
Abdullah Zaky al-Kaff dalam bukunya
Ekonomi dalam Perspektif Islam menjadikan hadits ini sebagai landasan dalam
kaidah ekonomi, yaitu produksi, distribusi dan konsumsi. Penjelasannya sebagai
berikut:
a. Mencari dan mengerjakan kayu bakar
berarti berusaha menambah produksi
b. Berusaha menjualnya berarti melakukan
distribusi atau pemasaran
c. Memakannya berarti memenuhi konsumsi
d. Menyedekahkan kepada orang lain berarti
mengerjakan rencana sosial[19].
2. Sektor Pertanian
Imam Muhammad bin Hasan al-Syaibani
dalam kitabnya al-Iktisab, menjelaskan bahwa pertanian adalah sector pertama
dan terpenting serta paling produktif dari segala ekonomi manusia. Menurutnya,
usaha pertanian itu lebih penting dan lebih mulia daripada perdagangan, karena
pertanian bersifat produktif dan lebih banyak faedahnya.
3. Sektor perindustrian
Di samping bidang pertanian, kaum muslimin
juga didorong untuk mengembangkan kemampuan dalam bidang industri dan
kerajinan, karena keduanya juga sangat penting untuk kehidupan. Nabi SAW.
bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنّ
رَسُولَ اللّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: "كَانَ زَكَرِيَاءُ نَجّاراً".[20]
﴿ رواه
مسلم فى كتاب الفضائل ﴾
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah ra. Bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda: “Dulu Nabi Zakariya
adalah seorang tukang kayu”. (HR. Muslim dalam Kitab Fadhoil)
Hadits tersebut tergolong hadits
yang menerangkan fadhilah (keutamaan) para Nabi. Di situ dijelaskan
bahwa Nabi Zakariya merupakan seorang tukang kayu. Tukang kayu bukanlah profesi
yang merendahkan keperwiraan atau kehormatan, akan tetapi merupakan profesi
yang utama. Berbagai macam bentuk kerajinan kayu yang sangat indah dan bahkan
sebagian besar barang-barang yang kita gunakan sehari-hari adalah hasil karya
jerih payah tukang kayu yang luar biasa.
Dalam hadits lain dari Ibnu Abbas
yang diriwayatkan oleh al-Hakim, Rasulullah SAW. bersabda:
كانَ دَاوُدُ زَرَّادًا وَكاَنَ
آدَمُ حَرَّاثًا وَكَانَ نُوْحٌ نَجَّارًا وَكاَنَ إدْرِيْسُ خَيَّاطًا وَكَانَ مُوْسَى
راَعِيًا ﴿ رواه الحاكم ﴾
“Nabi
Daud as. adalah seorang tukang besi pembuat senjata, Nabi Adam adalah seorang
petani, Nabi Nuh adalah seorang tukang kayu, Nabi Idris adalah seorang tukang
jahit, dan Nabi Musa adalah seorang penggembala”.
Dari uraian hadits tersebut, dapat
diketahui bahwa para Nabi dan Rasul telah merintis semangat berindustri yang
luar biasa. Karena itu, masyarakat Islam setidaknya tergugah hatinya untuk
mengembangkan bidang perusahaan dan industry[21].
4. Sektor Jasa
Dahulu, sector jasa masih bersifat
tradisional dan terbatas sehingga lebih mirip pekerja sewaan. Namun, sekarang
bentuk jasa telah berkembang menjadi bermacam-macam. Dulu Rasulullah SAW. juga
menjual jasa yaitu menggembalakan ternak milik orang lain selama beberapa
tahun. Ada sebuah hadits yang dapat diangkat sebagai dalil mengenai hal ini.
Rasulullah bersabda: “Tidak ada seorang nabipun yang tidak menggiring domba”.
Ada Seorang sahabat yang bertanya pada beliau, “Apakah engkau juga ya Rasul?”
Beliau menjawab: “Demikian halnya saya”. (HR. Muslim)
IV. KESIMPULAN
Dari makalah yang telah dipaparkan di
atas, dapat diambil kesimpulan bahwa:
1)
Islam
memandang terhormat orang yang bekerja dan mencari rizki halal. Hal ini
terbukti dari begitu banyaknya ayat dan hadits Nabi yang memotivasi manusia
untuk bekerja.
2)
Bekerja
dan mencari rizki halal harus diniati ibadah sebagai manifestasi syukur
seseorang pada Sang Khaliq
3)
Seorang
muslim tidak selayaknya merendahkan dirinya untuk meminta-minta, kecuali dalam
keadaan darurat.
4)
Seseorang
dipersilahkan memilih sektor lapangan kerja untuk bekerja yang sesuai dengan
potensinya, asalkan pekerjaannya itu halal.
V. PENUTUP
Demikian apa yang dapat disajikan oleh
penulis, semoga dapat memberikan manfaat bagi siapapun yang membacanya. Tentu
masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan dalam makalah yang singkat ini,
untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan demi penyempurnaan makalah
ini.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-Asqolani, Ibnu Hajar, Fathul
Baari, Mausu’ah Hadits an-Nabawy as-Syarif oleh Mauqi’ Ruh al-Islam pada
tahun 2006, th.
Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad
bin Ismail, Shahih Bukhari juz I, Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah,
2008.
Al-Ghazali, Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad, Ihya’
Ulum ad-Din juz II, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2007.
Al-Naisabury, Abu Husain Muslim bin
al-Hijaj, Shahih Muslim, Mausu’ah Hadits an-Nabawy as-Syarif oleh Mauqi’
Ruh al-Islam pada tahun 2006, th.
Al-Shadiqi Muhammad bin ‘Allan, Dalil al-Falihin,
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2006.
Al-Syakir, Usman bin Hasan, Durrotun Nasihin,
Semarang: Pustaka Alawiyah, 2003.
Asmara, Toto, Membudayakan Etos
Kerja Islami, Jakarta: Gema Insani, 2008.
Rahman, Fathur, Giat Bekerja,
Yogyakarta: Insan Madani, 2008.
Supriono, Arif, Seratus Cerita Tentang Akhlaq, Jakarta: Republika, 2004.
[1] Toto Asmara, Membudayakan Etos Kerja Islami, (Jakarta : Gema Insani,
2008), hlm. 27.
[2] Ibid., hlm. 25.
[3] Fathur Rahman, Giat Bekerja, (Yogyakarta :
Insan Madani, 2008), hlm. 49-50.
[4]Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari,
(Beirut : Dar
al-Kutub al-Islamiyah, 2008), juz I, hlm. 497.
[5] Ibnu Hajar al-Asqolani, Fathul Baari, (Mausu’ah Hadits an-Nabawy
as-Syarif oleh Mauqi’ Ruh al-Islam pada tahun 2006), th.
[6] Ibid., Lihat juga Muhammad bin ‘Allan al-Shadiqi, Dalil
al-Falihin, (Beirut :
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2006), Juz II, hlm. 98.
[7] Ibid.
[9] Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Op.Cit., Juz
II, hlm. 102.
[10] Arif Supriono, Seratus Cerita Tentang Akhlaq, (Jakarta : Republika,
2004), hlm. 35-36
[11] Muhammad bin ‘Allan al-shidiqy, Op.Cit., hlm. 426-427.
[12] Muhammad bin ‘Allan al-Shidiqy, Op.Cit.,Juz II, hlm. 428.
[13] Ibid.
[14] Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya’ Ulum
ad-Din, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2007), juz II, hlm. 86.
[15] Usman bin Hasan al-Syakir, Durrotun Nasihin, (Semarang : Pustaka
Alawiyah, 2003), hlm. 95
[16] Fathur Rahman, Op.Cit., hlm. 54.
[17] Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Op.Cit., hlm.
86.
[18] Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Op.Cit., Juz
II, hlm. 104.
[19] Fathur Rahman, Op.Cit., hlm. 56.
[20] Abu Husain Muslim bin al-Hijaj al-Naisabury, Shahih Muslim,
(Mausu’ah Hadits an-Nabawy as-Syarif oleh Mauqi’ Ruh al-Islam pada tahun 2006),
th.
[21] Fathur Rahman, Op.Cit., hlm. 59-60