Senin, 15 Oktober 2012

MOTIVASI KERJA DAN MENCARI RIZKI HALAL



MOTIVASI KERJA DAN MENCARI RIZKI HALAL

MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah Hadits
Dosen Pengampu : Prof. DR. H.M. Erfan Soebahar, M.A.










Disusun Oleh :
M. Abdul Ghoffar       103211023 (PBA 2A)
M. Baihaqi                   103211024 (PBA 2A)
M. Yusuf Al Faruq      103211025 (PBA 2A)
Malihatun Nisa’           103211026 (PBA 2A)




FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
MOTIVASI KERJA DAN MENCARI RIZKI HALAL

       I.       PENDAHULUAN
Agama Islam telah memberikan penghargaan yang sangat tinggi terhadap orang yang bekerja dengan sungguh-sugguh. Hal ini terbukti dengan begitu banyaknya firman Allah SWT. dan hadits Nabi SAW. yang memotivasi manusia untuk giat bekerja dan menjauhi sikap-sikap yang menunjukkan kelemahan dan kemalasan. Nabi Muhammad SAW. juga telah menyatakan bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Akan tetapi alangkah tersayatnya hati ini jika melihat fenomena akhir-akhir ini. Begitu banyak orang yang dengan senang hati menempatkan dirinya menjadi “tangan di bawah”. Bahkan hal itu sudah menjadi panorama yang sangat tidak langka, dimana hampir di setiap perempatan dan pemberhentian lampu merah, kita sering sekali menyaksikan orang-orang yang mengulurkan tangannya meminta sedekah, bahkan mencegat para pengemudi dengan kursi atau tong sampah dengan tanpa melupakan tulisan “untuk pembangunan masjid”. Sungguhlah pemandangan seperti itu sangat tidak mencerminkan karakteristik pribadi muslim yang merasa malu meminta dan besar keinginannya untuk memberi.
Makalah ini berisi sedikit penjelasan tentang beberapa hadits Nabi SAW. Yang memotivasi kita untuk selalu giat bekerja dan mencari rizki halal. Yaitu bekerja yang dilandasi dengan semangat tauhid dan tanggung jawab uluhiyah yang merupakan salah satu cirri khas dari kepribadian seorang muslim.

    II.       RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini, penulis membatasi masalah-masalah yang akan dibahas, meliputi:
A.      Hadits-hadits Nabi Tentang Motivasi Kerja
B.       Kedudukan Orang yang Meminta-minta Menurut Hadits Nabi
C.       Sektor Lapangan Kerja dalam Perspektif Hadits Nabi



 III.       PEMBAHASAN
A.      Hadits-hadits Nabi Tentang Motivasi Kerja
1.      Sekilas Tentang Bekerja dan Mencari Rizki Halal
Bekerja adalah segala aktivitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani), dan di dalam mencapai tujuannya tersebut dia berupaya dengan penuh kesungguhan untuk mewujudkan prestasi yang optimal sebagai bukti pengabdian dirinya kepada Allah SWT[1]. Di sisi lain, makna bekerja bagi seorang muslim adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh, dengan mengerahkan seluruh aset, pikir, dan dzikirnya untuk mengaktualisasikan dan menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang harus menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik (khaira ummah) atau dengan kata lain dapat juga dikatakan bahwa dengan bekerja manusia itu bisa memanusiakan dirinya[2].
Allah SWT. telah membekali semua sarana kepada manusia demi kebaikan hidup mereka. Manusia diberi akal agar dijadikan bekal untuk berpikir, tenaga dan fisik yang kuat agar dijadikan bekal untuk beribadah dan bekerja, dan hati agar dijadikan bekal untuk menikmati dan merasakan. Tentu saja manusia harus memanfaatkan dan mengoptimalkan kinerja sarana-sarana tersebut sebagai wujud syukur pada-Nya. Bahkan Allah pun sudah memberikan jaminan rizki kepada makhluq-makhluqNya, akan tetapi rizki yang telah dijaminkan oleh-Nya tersebut tidak bisa datang dengan begitu saja, melainkan perlu perjuangan dan usaha keras untuk menggapainya[3].
Mengingat betapa pentingnya bekerja dan mencari rizki tersebut, maka Nabi Muhammad SAW. pun turut memotivasi ummatnya untuk bekerja. Hal itu tercermin dari beberapa hadits beliau yang akan penulis coba uraikan satu persatu.


2.      Hadits-hadits Tentang Motivasi Kerja
Secara lebih hakiki, bekerja bagi seorang muslim adalah ibadah, bukti pengabdian dan rasa syukurnya untuk mengolah dan memenuhi panggilan Ilahi dalam memanfaatkan segala macam bentuk potensi yang telah diberikan Allah SWT. Dengan bekerja itulah seseorang juga dapat memperbanyak amal. Nabi SAW. Bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: أنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ، وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ، وَذَكَرَ الصَّدَقَةَ وَالْـتَّعَفُّفَ وَالْمَسْأَلَةَ: (اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، فَالْيَدُ الْعُلْيَا هِيَ الْمُنْفِقَةُ، وَالسُّفْلَى هِيَ السَّائِلَةُ). [4] ﴿ رواه البخاري فى كتاب الزكاة
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra. Bahwasanya Rasulullah SAW. Bersabda saat beliau di atas mimbar, beliau menyebutkan tentang shodaqoh, menjaga kehormatan diri, dan perihal meminta: “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Tangan di atas adalah orang yang memberi. dan tangan di bawah adalah orang yang meminta”. (HR. Bukhori dalam Kitab Zakat)
Secara umum, dapat dipahami dari hadits tersebut bahwa Nabi Muhammad SAW. sangat menganjurkan orang-orang yang kaya untuk bersedekah, dan orang-orang miskin untuk menjaga kehormatan diri dari meminta-minta[5].
Mayoritas ahli hadits menafsirkan lafal اَلْيَدُ الْعُلْيَا pada hadits tersebut dengan المنفقة yang berarti orang yang mentasarufkan hartanya, salah seorang di antaranya ada yang menafsirkan dengan المتعففة yaitu orang yang menjaga kehormatan dirinya dari meminta-minta, ada juga yang mengartikannya dengan المعطى yaitu orang yang memberi. Memang banyak sekali redaksi hadits di atas yang berbeda-beda, akan tetapi semakna, namun kesemuanya saling mendukung bahwa yang dimaksud  disini adalah  اَلْيَدُ الْعُلْيَا orang yang mentasarufkan hartanya atau orang yang memberi[6].
Sedangkan lafal الْيَد السُّفْلَى dalam hadits tersebut berarti orang yang meminta, ada juga yang mengatakan sebagai orang yang mengambil pemberian, baik dengan meminta ataupun tidak. Namun menurut Ibnu Arabi, yang dimaksud di situ adalah orang yang meminta, bukan orang yang mengambil pemberian[7]. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tangan manusia dapat dibedakan menjadi empat, yaitu:
a.          Orang yang memberi (tergolong tangan di atas)
b.         Orang yang meminta (baik yang mengambil pemberian ataupun tidak, semuanya tergolong tangan di bawah)
c.          Orang yang menjaga kehormatan diri dari mengambil pemberian (tergolong tangan di atas secara maknawi)
d.         Orang yang mengambil pemberian tanpa meminta (menjadi perselisihan para ulama’).[8]
Dari hadits tersebut juga dapat diambil sebuah hikmah bahwasanya sebaiknya seseorang itu bekerja keras agar bisa memberi dan menjaga kehormatan dirinya dari meminta-minta. Karena orang yang seperti itu akan dijaga kehormatannya oleh Allah SWT. Dia akan mencukupkan kebutuhannya dan menumbuhkan sifat qona’ah dalam hatinya. Sebagaimana hadits Nabi SAW. “… Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya, maka Allah akan menjaga kehormatan dirinya, dan barangsiapa yang menganggap cukup dengan apa yang telah diberikan padanya, maka Allah akan mencukupkan kebutuhannya”. (HR. Bukhori)
Dalam haditsnya yang lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra., Nabi SAW. juga bersabda:
عَنْ أبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلمَّ: (لأنْ يَحْتَطِبَ أحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِه، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أنْ يَسْألَ أحَدًا فَيُعْطِيَه أوْ يـَمـْنَعَهُ).  ﴿ رواه البخاري فى كتاب المساقاة [9]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Dia bersabda: Sungguh jika salah seorang dari kamu mengumpulkan seikat kayu bakar, lalu membawanya di atas punggung, (kemudian menjualnya), itu lebih baik daripada meminta-minta pada orang lain, dimana orang itu kadang memberinya dan kadang menolaknya. (HR. Bukhori dalam Kitab Musaqoh)

Dalam hadits tersebut Nabi Muhammad SAW. secara tersirat mengisyaratkan bahwa manusia itu tidak sepantasnya merendahkan dirinya dengan meminta-minta. Karena meminta-minta itu jelas menyalahi kodrat ilahi, yaitu kodrat Allah yang telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang mulia (QS. 18: 70). Pekerjaan mencari kayu bakar yang telah disebutkan dalam hadits tersebut merupakan pekerjaan yang simpel, walaupun cukup berat dan mengandung konsekuensi mendapatkan hasil yang sangat minim. Akan tetapi, hal tersebut dianggap lebih terhormat jika dibandingkan dengan meminta-minta[10].
Faedah diawalinya hadits tersebut dengan qosam yaitu untuk menguatkan pada orang yang mendengar bahwa Nabi SAW. dalam hadits tersebut sangat menganjurkan kita untuk menjaga kehormatan diri dari meminta-minta dan menjauhkan diri darinya, walaupun dengan cara merendahkan diri dalam mencari rizki dan menempuh kesulitan (mencari kayu bakar dan memulung sampah misalnya). Kemudian yang dimaksud khoir dalam hadits tersebut bukanlah untuk tafdhil, karena tiada sedikitpun kebaikan dalam meminta-minta bagi orang yang mampu bekerja, bahkan menurut Imam Syafi’i haram hukumnya orang tersebut untuk meminta-minta[11].

 Nabi SAW. juga bersabda :
عن المقدام رضي الله عنه، عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (مَا أكَلَ أحَدٌ طَعَامًا قَطُّ، خَيْرًا مِنْ أنْ يَأكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ، وَإنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ عَلَيْه السَّلاَمُ كَانَ يَأكُلُ مِنْ عَمِلَ يَدِهِ).[12] ﴿ رواه البخاري فى كتاب البـيوع
Diriwayatkan dari Miqdam ra. Dari Rasulullah SAW., beliau bersabda: “Tiada seorangpun yang makan makanan yang lebih baik daripada makan yang ia peroleh dari hasil usahanya sendiri. Sesungguhnya Nabi Dawud as. pun makan dari hasil usahanya sendiri”. (HR. Bukhori dalam Kitab Jual Beli)
Hadits tersebut menjelaskan bahwa segala bentuk konsumsi baik berupa makan, minum, berpakaian, dan lain-lain itu sebaiknya berasal dari hasil usaha sendiri, tidak karena diberi apalagi meminta. Disebutkannya ‘makan’ dalam hadits tersebut  itu karena makan adalah salah satu bentuk konsumsi yang paling sering dilakukan. Karena itu, dapat diambil pelajaran bahwa seseorang harus bekerja agar bisa melakukan konsumsi dan mencukupi kebutuhannya.
Kemudian lafal ‘amali yadihi (pekerjaan tangannya) disitu adalah kinayah dari al-kasb (bekerja). Hal ini dikarenakan kebanyakan pekerjaan itu dilakukan dengan tangan. Jadi, tidak menafikan pekerjaan yang dilakukan dengan tidak menggunakan tangan, seperti upah yang didapat karena hasil mengaji al-Qur’an (kasb an-nadhor), menyimak pelajaran (kasb as-sima’), berpuasa bagi orang yang telah meninggal (kasb bi al-a’dho’ ukhro), dan lain-lain.[13] Dalam hadits tersebut Rasulullah SAW. juga menyebutkan bahwa Nabi Dawud as. itu juga makan dari hasil usahanya sendiri. Beliau merupakan seorang pembuat baju besi (zarrad), padahal pada saat itu beliau sebagai raja. Dari sini pula dapat diambil pelajaran bahwa siapapun itu apapun pangkatnya, tetap harus bekerja dan mencari rizki yang halal.

 B. Kedudukan Orang yang Meminta-minta Menurut Hadits Nabi
Bekerja merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang sehat secara fisik dan mental. Bekerja juga merupakan wujud syukur seseorang kepada Allah SWT. Karena dia telah memanfaatkan nikmat kesehatan fisik dan segala bentuk potensi yang telah diberikan Allah padanya dengan baik dan benar. Karena itulah Islam sangat menghargai orang yang bekerja keras dan makan minum dari hasil usahanya sendiri. Sebaliknya, Islam sangat menentang sikap meminta-minta, karena meminta-minta itu bukanlah cerminan pribadi seorang muslim. Nabi SAW. pun telah menghimbau kita untuk menjaga kehormatan diri dan tidak meminta-minta sebagaimana yang telah beliau jelaskan dalam hadits-haditsnya. Bahkan dalam suatu hadits beliau mengancam secara halus bahwa orang yang meminta-minta itu akan dekat dengan kemiskinan. Sebagaimana sabdanya :
عَنْ أبِي كَبْشَة الأنْـمَارِي أنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلمَّ قال: ( مَنْ فَتَحَ عَلىَ نَفْسِهِ بَابًا مِنَ السُّؤاَلِ فَتَحَ اللهُ عَلَيْهِ سَبْعِيْنَ بَابًا مِنَ الفَقْرِ)[14]. ﴿ رواه الترمذي
Diriwayatkan dari Abi Kabsyah al-Anmari ra. Bahwasanya Rasulullah SAW. Bersabda: “Barangsiapa membuka sebuah pintu meminta-minta untuk dirinya, maka Allah akan membukakan untuknya 70 pintu kefakiran”. (HR. Turmudzi)

Pada hakikatnya meminta-minta hukumnya haram dan tidak diperbolehkan kecuali ketika dalam keadaan dharurat. Penyebab diharamkannya meminta-minta tidak terlepas dari beberapa hal berikut ini:  Pertama, menampakkan komplain atau pengaduan seseorang pada Allah. Kedua, menghinakan dirinya pada selain Allah, padahal seorang muslim itu tidak pantas menghinakan dirinya pada selain Allah SWT. Ketiga, Pada umumnya meminta-minta itu menyakiti perasaan orang yang dimintai, karena barangkali dia tidak berkenan memberi dan malu akan dianggap sebagai orang yang bakhil jika menolaknya. Jika ia memberi maka uangnya berkurang, dan jika dia tidak memberi  maka derajatnya akan berkurang[15].

C. Sektor Lapangan Kerja dalam Perspektif Hadits Nabi
Semua rizki manusia telah tersedia dengan amat lengkap. Manusia hanya perlu bergerak (berhijrah) dan berusaha untuk menjemput rizkinya. Ada banyak sektor yang dapat dimasuki sebagai wadah untuk mengais rizki. Di antaranya adalah sektor perdagangan, sektor pertanian, sektor perindustrian, sektor jasa, dan beragam sektor lainnya. Berikut ini penulis akan coba memaparkan sebagian kecil perspektif hadits-hadits Nabi terhadap sektor-sektor tersebut.
1.     Sektor Perdagangan (Bisnis)
Lembaran sejarah Islam telah mencatat bahwa Nabi Muhammad SAW. dan para sahabatnya merupakan pebisnis ulung dalam hal perdagangan yang memiliki semangat juang yang tinggi. Rasulullah dikenal sebagai pedagang ulung yang bergelar al-Amin (dapat dipercaya). Abu Bakar dan Utsman dikenal sebagai pedagang pakaian[16]. Bahkan ketika Rasulullah ditanya seorang sahabat mengenai mata pencaharian apa yang paling baik, beliau menjawab: “Pekerjaan seseorang yang dilakukan sendiri dan setiap jual beli yang baik (mabrur)”[17].
Ada juga hadits lain terkait keutamaan berdagang (berbisnis). Hadits ini semakna dengan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Nabi SAW. bersabda:
عَنِ الزُّبَـير بن العَوام رَضِيَ اللهُ عَنْه، عَنِ النّبـِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (لأنْ يَأخُذَ أحَدُكُمْ حَبْلَهُ، فَيَأتِيَ بِـحُزْمَةِ الْحَطَبِ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَـبِيْعُها، فَيَكُفُّ اللهُ بِها وَجْهَهُ، خَيْرٌ لَه مِنْ أنْ يَسْألَ النَّاسَ، أعْطَوْهُ أوْ مَنَعُوْه)[18]. ﴿ رواه البخاري فى كتاب المساقاة
Diriwayatkan dari Zubair bin Awwam ra. Dari Nabi SAW. beliau bersabda: “Sungguh jika salah seorang di antara kamu mengambil talinya, kemudaian membawa seikat kayu bakar di punggungnya, lalu menjualnya, sehingga Alah menutup air mukanya (kebutuhannya), maka itu lebih baik daripada meminta-minta kepada orang, dimana  ia diberi maupun ditolak”. (HR. Bukhori)
Abdullah Zaky al-Kaff dalam bukunya Ekonomi dalam Perspektif Islam menjadikan hadits ini sebagai landasan dalam kaidah ekonomi, yaitu produksi, distribusi dan konsumsi. Penjelasannya sebagai berikut:
a.       Mencari dan mengerjakan kayu bakar berarti berusaha menambah produksi
b.      Berusaha menjualnya berarti melakukan distribusi atau pemasaran
c.       Memakannya berarti memenuhi konsumsi
d.      Menyedekahkan kepada orang lain berarti mengerjakan rencana sosial[19].
2.     Sektor Pertanian
Imam Muhammad bin Hasan al-Syaibani dalam kitabnya al-Iktisab, menjelaskan bahwa pertanian adalah sector pertama dan terpenting serta paling produktif dari segala ekonomi manusia. Menurutnya, usaha pertanian itu lebih penting dan lebih mulia daripada perdagangan, karena pertanian bersifat produktif dan lebih banyak faedahnya.
3.     Sektor perindustrian
Di samping bidang pertanian, kaum muslimin juga didorong untuk mengembangkan kemampuan dalam bidang industri dan kerajinan, karena keduanya juga sangat penting untuk kehidupan. Nabi SAW. bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنّ رَسُولَ اللّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: "كَانَ زَكَرِيَاءُ نَجّاراً".[20]
﴿ رواه مسلم فى كتاب الفضائل
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda: “Dulu Nabi Zakariya adalah seorang tukang kayu”. (HR. Muslim dalam Kitab Fadhoil)

Hadits tersebut tergolong hadits yang menerangkan fadhilah (keutamaan) para Nabi. Di situ dijelaskan bahwa Nabi Zakariya merupakan seorang tukang kayu. Tukang kayu bukanlah profesi yang merendahkan keperwiraan atau kehormatan, akan tetapi merupakan profesi yang utama. Berbagai macam bentuk kerajinan kayu yang sangat indah dan bahkan sebagian besar barang-barang yang kita gunakan sehari-hari adalah hasil karya jerih payah tukang kayu yang luar biasa.
Dalam hadits lain dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh al-Hakim, Rasulullah SAW. bersabda:
كانَ دَاوُدُ زَرَّادًا وَكاَنَ آدَمُ حَرَّاثًا وَكَانَ نُوْحٌ نَجَّارًا وَكاَنَ إدْرِيْسُ خَيَّاطًا وَكَانَ مُوْسَى راَعِيًا ﴿ رواه الحاكم
Nabi Daud as. adalah seorang tukang besi pembuat senjata, Nabi Adam adalah seorang petani, Nabi Nuh adalah seorang tukang kayu, Nabi Idris adalah seorang tukang jahit, dan Nabi Musa adalah seorang penggembala”.
Dari uraian hadits tersebut, dapat diketahui bahwa para Nabi dan Rasul telah merintis semangat berindustri yang luar biasa. Karena itu, masyarakat Islam setidaknya tergugah hatinya untuk mengembangkan bidang perusahaan dan industry[21].
4.     Sektor Jasa
Dahulu, sector jasa masih bersifat tradisional dan terbatas sehingga lebih mirip pekerja sewaan. Namun, sekarang bentuk jasa telah berkembang menjadi bermacam-macam. Dulu Rasulullah SAW. juga menjual jasa yaitu menggembalakan ternak milik orang lain selama beberapa tahun. Ada sebuah hadits yang dapat diangkat sebagai dalil mengenai hal ini. Rasulullah bersabda: “Tidak ada seorang nabipun yang tidak menggiring domba”. Ada Seorang sahabat yang bertanya pada beliau, “Apakah engkau juga ya Rasul?” Beliau menjawab: “Demikian halnya saya”. (HR. Muslim)





 IV.       KESIMPULAN
Dari makalah yang telah dipaparkan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa:
1)            Islam memandang terhormat orang yang bekerja dan mencari rizki halal. Hal ini terbukti dari begitu banyaknya ayat dan hadits Nabi yang memotivasi manusia untuk bekerja.
2)            Bekerja dan mencari rizki halal harus diniati ibadah sebagai manifestasi syukur seseorang pada Sang Khaliq
3)            Seorang muslim tidak selayaknya merendahkan dirinya untuk meminta-minta, kecuali dalam keadaan darurat.
4)            Seseorang dipersilahkan memilih sektor lapangan kerja untuk bekerja yang sesuai dengan potensinya, asalkan pekerjaannya itu halal.

    V.       PENUTUP
Demikian apa yang dapat disajikan oleh penulis, semoga dapat memberikan manfaat bagi siapapun yang membacanya. Tentu masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan dalam makalah yang singkat ini, untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan demi penyempurnaan makalah ini.




                          



DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al-Asqolani, Ibnu Hajar, Fathul Baari, Mausu’ah Hadits an-Nabawy as-Syarif oleh Mauqi’ Ruh al-Islam pada tahun 2006, th.
Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, Shahih Bukhari juz I, Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2008.
Al-Ghazali, Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad, Ihya’ Ulum ad-Din juz II, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2007.
Al-Naisabury, Abu Husain Muslim bin al-Hijaj, Shahih Muslim, Mausu’ah Hadits an-Nabawy as-Syarif oleh Mauqi’ Ruh al-Islam pada tahun 2006, th.
Al-Shadiqi Muhammad bin ‘Allan, Dalil al-Falihin, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2006.
Al-Syakir, Usman bin Hasan, Durrotun Nasihin, Semarang: Pustaka Alawiyah, 2003.
Asmara, Toto, Membudayakan Etos Kerja Islami, Jakarta: Gema Insani, 2008.
Rahman, Fathur, Giat Bekerja, Yogyakarta: Insan Madani, 2008.
Supriono, Arif, Seratus Cerita Tentang Akhlaq,  Jakarta: Republika, 2004.





[1] Toto Asmara, Membudayakan Etos Kerja Islami, (Jakarta: Gema Insani, 2008), hlm. 27.
[2] Ibid., hlm. 25.
[3] Fathur Rahman, Giat Bekerja, (Yogyakarta: Insan Madani, 2008), hlm. 49-50.
[4]Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2008), juz I, hlm. 497.
[5] Ibnu Hajar al-Asqolani, Fathul Baari, (Mausu’ah Hadits an-Nabawy as-Syarif oleh Mauqi’ Ruh al-Islam pada tahun 2006), th.
[6] Ibid., Lihat juga Muhammad bin ‘Allan al-Shadiqi, Dalil al-Falihin, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2006), Juz II, hlm. 98.
[7] Ibid.
[8]Ibid., hlm. 99. Lihat juga Ibnu Hajar al-Asqolani, Op.Cit., th.
[9] Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Op.Cit., Juz II, hlm. 102.
[10] Arif Supriono, Seratus Cerita Tentang Akhlaq, (Jakarta: Republika, 2004), hlm. 35-36
[11] Muhammad bin ‘Allan al-shidiqy, Op.Cit., hlm. 426-427.
[12] Muhammad bin ‘Allan al-Shidiqy, Op.Cit.,Juz II,  hlm. 428.
[13] Ibid.
[14] Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya’ Ulum ad-Din, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2007), juz II, hlm. 86.
[15] Usman bin Hasan al-Syakir, Durrotun Nasihin, (Semarang: Pustaka Alawiyah, 2003), hlm. 95
[16] Fathur Rahman, Op.Cit., hlm. 54.
[17] Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Op.Cit., hlm. 86.
[18] Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Op.Cit., Juz II, hlm. 104.
[19] Fathur Rahman, Op.Cit., hlm. 56.

[20] Abu Husain Muslim bin al-Hijaj al-Naisabury, Shahih Muslim, (Mausu’ah Hadits an-Nabawy as-Syarif oleh Mauqi’ Ruh al-Islam pada tahun 2006), th.

[21] Fathur Rahman, Op.Cit., hlm. 59-60

Tidak ada komentar: