Selasa, 20 Oktober 2015

Hari Santri Nasional

  Kang Tiut sedang berfikir keras dengan agenda peringatan hari santri nasional yaitu tanggal 22 Oktober. Dalam benak kang Tiut, ia merasa gegana (gejala galau merana). Sebelum-sebelumnya belum pernah ada acara peringatan hari santri, sudah lima tahun ini kang Tiut masuk dalam kepengurusan di pesantren ia tinggal, dan selama itu pula ia belum pernah melihat perayaan peringatan hari santri nasional.
  "Udah kang, gak usah pusing. Kita adakan aksi damai di jalan raya saja, itu tu biar kayak mahasiswa-mahasiswa." celetuk kang Kucluk, salah seorang kawan satu kamarnya. Kang Tiut tetap saja tak merespon apa yang didengarnya. Ia masih mencoba mencari ide lainnya. "Agenda-agenda santri selama ini terkesan hanya berbau pengajian kang, tak ada salahnya mencoba usulan kang Kucluk.", ucap Ucup. Tiba-tiba wajah kang Tiut berubah, ia nampak marah dan langsung mengeluarkan kata-kata dengan intonasi kasar; "Kalian itu, pengennya ikut-ikutan mahasiswa. Kalo emang pengen ikut-ikutan, sana kalian jadi mahasiswa saja tak usah jadi santri. Santri tu mengedepankan maslahah ummah dengan cara yg khasanah. Jika kalian turun ke jalan, meskipun dengan aksi demai tetap saja kalian akan mengganggu akses masyarakat pengguna jalan, akibatnya macet berkepanjangan, apalagi jumlah santri di pesantren ini mencapai 1200 santri. Trus manfaat yang didapat santri-santri apa?"
  Mendengar ucapan kang Tiut seperti itu, kang Kucluk dan Ucup pun terdiam. Kang Tiut sebenarnya juga mahasiswa salah satu universitas negeri, tetapi kang Tiut termasuk orang yang tak menyukai aksi di jalan raya. Pernah ia sesekali mengikuti aksi untuk memperjuangkan hak-hak mahasiswa terkait permasalahan UKT, tetapi aksinya tersebut dilakukan di Rektorat, gedung dimana Rektor berada. Dikala memperjuangkan hak-hak mahasiswa tersebut kang Tiut pawai sekali dalam mengkritisi tiap kebijakan kampus yang tidak sesuai.
  "Hari santri itu adalah hadiah dari Indonesia untuk menghargai perjuangan para santri yang turut andil memperjuangkan kemerdekaan bangsa, musti kita juga mengisinya dengan kegiatan-kegiatan yang menguntungkan bangsa, terutama masyarakat. Jika kita melakukan aksi di jalan raya, meskipun dengan cara damai, tetap saja aksi tersebut akan merugikan masyarakat. Gimana jika ada orang yang sedang sakit dan buru-buru ke rumah sakit, eh ternyata terjebak macet akibat adanya aksi? Bisa-bisa orang yang sakit tadi tidak kuat menahan sakitnya bahkan bisa sampai memperburuk keadaannya. Nah kalo terjadi hal demikian maka aksi yang dilakukan menjadi pemicunya, dan tentunya para peserta aksi itu harus tanggung jawab dengan apa yang diperbuatnya. Kalian mau menanggung biaya berobatnya?, itupun kalo orangnya masih bisa diobati, kalo seumpama ia meninggal, kalian mau dikenai hukuman sebagaimana hukum yang ada di al-qur'an surat An-Nisa' ayat 92?." tegas kang Tiut kepada kedua rekannya.
  "Oh... Begitu to kang, wah kalo sampe seperti itu imbasnya ya saya jadi takut kang." ucap Kucluk. "Wah... Mending gak usah aksi kang". Tutur Ucup menyusul ucapan Kucluk.
  "Kalo begitu apa dong kang acara yang harus kita siapkan dalam menyambut hari santri?", tanya kang Kucluk kembali. "Kalo aku tahu tak mungkin aku gegana begini, udahlah mending gak usah diperingati saja. Cukup kita tahu bahwa tanggal 22 Oktober adalah hari santri, kita ramaikan dengan cara kita sendiri-sendiri. Tak perlu dikoordinir untuk melakukan sebuah even khusus, lagian perisiapan juga dirasa kurang. Kecuali kita cukup melakukan hal-hal sederhana, yaitu agenda ngaji kitab bareng di pusat diganti dengan ngaji sejarah Santri, mungkin romo yai bakalan setuju jika beliau diminta menjelaskan hal itu." tutur kang Tiut.
                        Yogyakarta, 21_10_15